JEJAK SANG GURU 1

 Desa kecil itu terletak di kaki pegunungan, jauh dari gemerlap kota. Tidak ada listrik, tidak ada sepeda, dan satu-satunya kendaraan yang biasa digunakan warga hanyalah angkutan desa dengan bak terbuka yang hanya beroperasi menuju pasar. Saat malam, rumah-rumah hanya diterangi lampu minyak, dan pagi harinya embun menempel di dedaunan hijau, membuat udara terasa lebih sejuk.

Di desa itu, hidup seorang guru agama bernama Ustad Mahfud. Ia seorang pegawai negeri, mengajar di madrasah yang terletak tak jauh dari pemukiman warga. Setiap pagi, selepas Subuh, ia berjalan kaki menuju sekolah bersama anaknya, Hasan.

Perjalanan mereka tidak jauh, hanya sekitar sepuluh menit berjalan kaki. Jalannya masih berupa tanah dan berumput, kadang becek jika habis hujan. Hasan sudah terbiasa melewati jalur ini, mendengar suara burung di pepohonan, dan sesekali melihat ayam atau kambing warga berkeliaran di pinggir jalan.

"Bapak, kenapa orang-orang selalu hormat sama guru?" tanya Hasan, melompati genangan air di jalan setapak.

Ustad Mahfud tersenyum. "Karena guru itu tempat orang menimba ilmu. Kalau kita menghormati ilmu, hidup kita akan lebih berkah."

Hasan mengangguk kecil. Ia bangga memiliki ayah seorang guru, tetapi kadang merasa ada beban tersendiri. Semua orang mengawasinya, mengharapkan ia menjadi anak yang paling patuh dan rajin.

Setelah melewati beberapa rumah dan kebun warga, mereka tiba di madrasah. Bangunan itu sudah berdinding tembok, tetapi lantainya masih tegel. Beberapa bagian tegelnya sudah retak dan kusam karena usia. Jendela kayunya lebar, membiarkan angin pegunungan masuk sebagai pengganti kipas angin yang tentu saja tidak ada.

Hasan segera berbaur dengan teman-temannya, sementara Ustad Mahfud menuju ruang guru untuk bersiap mengajar.

Di halaman madrasah, Hasan duduk bersama sahabatnya, Jamal, di bawah pohon nangka yang rindang. Tak lama, seorang anak bernama Umar datang dengan wajah cemas.

"Hasan, aku kemarin nggak masuk sekolah," bisik Umar.

Hasan mengerutkan dahi. "Kenapa?"

Umar menunduk. "Main di sungai sampai sore, terus keburu capek, ketiduran..."

Hasan menghela napas. "Kalau bolos, pasti bakal kena tegur guru."

Umar semakin gelisah. Ia tahu bahwa di madrasah ini, tidak masuk sekolah tanpa alasan yang jelas adalah kesalahan besar. Bukan hanya guru, orang tua mereka pun bisa dipanggil jika bolos berulang kali.

Pagi itu, pelajaran dimulai seperti biasa. Namun, Hasan tahu, setelah ini akan ada teguran bagi mereka yang tidak masuk sekolah kemarin. Dan ia bisa melihat wajah Umar yang semakin ketakutan.

Saat pulang sekolah nanti, Hasan sudah tahu jalur mana yang akan ia ambil. Biasanya, ia dan beberapa temannya tidak melewati jalan utama, melainkan lewat jalur belakang yang lebih cepat. Mereka akan berjalan melintasi kebun dan tanah pekarangan belakang rumah warga, menyelinap di antara pepohonan kopi dan pisang, sebelum akhirnya tiba di rumah masing-masing.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

JEJAK SANG GURU 24

MENGULANG DEMONSTRASI

JEJAK SANG GURU 16