JEJAK SANG GURU 17

 Siang itu, langit mendung mulai menggantung di atas desa. Hasan dan teman-temannya masih bermain kasti di pinggir sawah, meskipun angin mulai bertiup lebih kencang. Dari kejauhan, suara gemuruh terdengar samar-samar.

"Sepertinya mau hujan," ujar Umar, menatap langit yang semakin kelabu.

"Ayo main terus saja, belum tentu deras," balas Hasan, masih semangat.

Permainan berlanjut, tapi tidak lama kemudian, rintik hujan mulai turun. Semula hanya gerimis kecil, lalu berubah menjadi semakin deras. Anak-anak lain yang sedang berada di sawah berlarian mencari tempat berteduh, tapi Hasan dan teman-temannya justru tertawa kegirangan.

"Hujan-hujanan saja!" teriak Asep, lalu melepas bajunya, menyisakan hanya celana pendek.

Hasan dan yang lain ikut melakukan hal yang sama. Mereka berlari-lari di tengah hujan, berputar-putar, bahkan ada yang menjatuhkan diri ke tanah, menikmati dinginnya air yang mengguyur tubuh mereka.

Di tengah keseruan itu, tiba-tiba suara keras terdengar dari kejauhan.

"Hasaaaan!"

Hasan menoleh dan melihat ayahnya berdiri di pematang, melipat tangan di dada sambil menggelengkan kepala.

Hasan menelan ludah. "Eh, ayahku..."

Ayahnya mendekat, tatapannya tegas namun tidak marah. "Kalian ini, kalau main hujan-hujanan jangan terlalu lama. Nanti bisa masuk angin."

"Tapi seru, Yah!" ujar Hasan, masih tersenyum.

Ayahnya akhirnya menghela napas dan tersenyum kecil. "Ya sudah, sebentar lagi kalian harus pulang, ganti baju yang kering."

Anak-anak lain ikut tertawa. Mereka tahu, di zaman itu, bermain hujan-hujanan adalah bagian dari kesenangan masa kecil. Tak ada yang khawatir akan basah atau kotor, karena yang paling penting adalah menikmati momen bersama teman-teman.

Dan hari itu, Hasan kembali menambah satu kenangan manis dalam masa kecilnya—bermain di tengah hujan tanpa beban, merasakan kebebasan yang hanya bisa dirasakan oleh anak-anak desa di era itu.

----

Malam harinya, Hasan mulai merasa tidak enak badan. Tubuhnya terasa dingin, kepalanya berat, dan perutnya kembung. Ia berbaring di bale-bale kayu dekat dapur, sementara ibunya sibuk menyiapkan ramuan tradisional.

"Apa sudah kukatakan? Jangan terlalu lama main hujan-hujanan," ujar ayahnya sambil duduk di sampingnya.

Hasan hanya nyengir, merasa sedikit menyesal tapi juga tidak benar-benar menyesal. Baginya, keseruan tadi siang sepadan dengan masuk angin yang ia rasakan sekarang.

Tak lama, ibunya datang membawa segelas air hangat yang berbau khas. Hasan meringis. Ia tahu ramuan ini—campuran jahe, serai, dan madu—dan rasanya selalu sedikit pedas di tenggorokan.

"Minum ini, biar cepat sembuh," kata ibunya sambil menyodorkan gelas itu.

Hasan menutup hidungnya dan meneguk ramuan itu perlahan. Panasnya langsung menjalar ke tenggorokan dan perutnya, membuatnya sedikit lebih nyaman.

Setelah itu, ibunya mengoleskan minyak kayu putih ke perut dan punggungnya, lalu memijatnya perlahan. Hangatnya minyak dan pijatan lembut ibunya membuat Hasan semakin mengantuk.

"Kamu harus istirahat," kata ayahnya. "Besok pagi sudah harus kembali ke madrasah."

Hasan mengangguk lemah. Sambil berbaring, ia mendengar suara angin berhembus di luar rumah, diselingi suara jangkrik yang bersahutan. Suasana desa yang tenang, suara api berkedip dari lampu minyak, dan hangatnya kasih sayang orang tua membuatnya merasa nyaman meskipun tubuhnya sedang tidak fit.

Tak butuh waktu lama, matanya mulai terpejam, dan ia tertidur lelap, berharap besok pagi tubuhnya sudah kembali sehat seperti sedia kala.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

JEJAK SANG GURU 24

MENGULANG DEMONSTRASI

JEJAK SANG GURU 16