MENGULANG DEMONSTRASI
Langit sore menguning ketika Arif duduk di beranda rumahnya, menatap halaman kampus di Kota Malang tempat ia dulu berjuang. Secangkir kopi hitam mengepul di tangannya. Televisi menampilkan berita terbaru: mahasiswa turun ke jalan, menuntut keadilan.
"Seperti kita dulu," gumamnya, tersenyum kecil.
Tahun 1998, Arif hanyalah seorang mahasiswa semester tiga yang terjebak dalam pusaran reformasi. Hari-hari di kampus bukan hanya tentang kuliah dan tugas, tapi juga diskusi di kontrakan, rapat di sekretariat organisasi, dan aksi di jalan. Buku-buku pemikiran Soe Hok Gie, Abdul Wahab, dan Pramoedya menjadi santapan sehari-hari.
"Kita tidak bisa diam saja," kata salah satu temannya saat itu, "Negara ini butuh perubahan."
Mereka berdesakan di depan gedung DPR, suara mereka membahana, menuntut keadilan. Gas air mata pernah mereka rasakan, juga kejaran aparat. Namun, rasa takut tenggelam oleh semangat. Mereka tidak hanya berdemonstrasi; mereka berjuang.
Dua puluh lima tahun berlalu, dan kini anak-anak muda kembali turun ke jalan. Isu yang mereka perjuangkan hampir sama, hanya berbeda waktu saja. Dari demonstrasi tahun 66, 98, hingga saat ini, semua berbicara tentang kontrak sosial yang dilanggar—kesenjangan, ketimpangan, harga sembako tinggi, serta rendahnya kepercayaan terhadap pemerintah. Namun, semangatnya tetap sama.
Arif menyesap kopinya, matanya kembali ke layar televisi. Ia melihat wajah-wajah muda yang penuh tekad, sebagaimana dirinya dulu. Ia tahu, sejarah selalu berulang. Akan selalu ada mahasiswa yang berani menantang ketidakadilan.
Kenangan itu membawanya kembali ke hari-hari panas di jalanan. Dulu, ia bersama teman-temannya menyiapkan selebaran di kamar kontrakan yang sempit. Mereka mencoret-coret spanduk dengan cat semprot, menyiapkan orasi yang akan disampaikan. Tidak ada media sosial saat itu, hanya selebaran dan berita dari mulut ke mulut.
"Kalau kita tidak turun ke jalan, siapa lagi?" suara Fajar, sahabatnya, masih terngiang di telinganya.
Kini, perlawanan dilakukan dengan cara yang lebih modern. Media sosial menjadi alat pergerakan, pesan tersebar dalam hitungan detik. Mahasiswa tidak hanya berdemonstrasi di jalan, tetapi juga membangun kesadaran digital, menciptakan opini, dan menggalang dukungan lebih luas.
Namun, ancaman terhadap kebebasan masih ada. Seperti di zamannya, aparat tetap berjaga dengan tameng dan gas air mata. Ketakutan masih menghantui, tetapi keberanian tetap menyala.
"Ayah, lihat berita ini?" suara anak perempuannya, Nadya, membuyarkan lamunannya. Nadya kini duduk di semester dua di salah satu perguruan tinggi negeri. Matanya menatap layar televisi dengan penuh perhatian.
Arif menatap putrinya dengan perasaan campur aduk. Ia bangga, tetapi juga cemas. Nadya telah tumbuh menjadi gadis yang kritis, sering mengikuti diskusi kampus, dan kini mulai aktif dalam gerakan mahasiswa. Beberapa kali ia bercerita tentang kondisi di kampus, kebijakan pemerintah yang dianggap merugikan mahasiswa, hingga bagaimana teman-temannya mulai bergerak untuk menyuarakan keresahan mereka.
"Ayah dulu juga seperti mereka, ya?" tanya Nadya, masih menatap layar televisi.
Arif mengangguk pelan. "Iya, bahkan mungkin lebih berisiko. Kami turun ke jalan tanpa kepastian apakah bisa pulang dengan selamat. Tapi kami tetap maju, karena kami tahu, masa depan ada di tangan kami."
"Tapi sekarang berbeda, Yah. Pemerintah lebih represif, tapi media sosial membantu menyebarkan informasi lebih cepat," ujar Nadya.
Arif tersenyum. "Iya, tapi intinya tetap sama. Kalian berjuang untuk keadilan, sama seperti kami dulu."
Nadya terdiam sejenak, lalu bertanya, "Ayah tidak keberatan kalau aku ikut turun ke jalan?"
Arif menghela napas. "Sebagai seorang ayah, tentu aku khawatir. Tapi sebagai seseorang yang pernah berdiri di posisimu, aku bangga. Yang penting, tetap hati-hati, Nadya. Pastikan kau tahu apa yang kau perjuangkan, dan jangan biarkan emosi menguasaimu."
Nadya tersenyum dan mengangguk. "Aku akan berhati-hati, Ayah. Aku hanya ingin ikut berjuang, seperti Ayah dulu."
Arif menatap putrinya dengan bangga. Ia tahu, perjuangan tidak akan pernah selesai. Selama masih ada ketidakadilan, mahasiswa akan tetap turun ke jalan. Dan sejarah akan terus berulang, kini dengan Nadya sebagai bagian dari gelombang perubahan yang baru.
Komentar
Posting Komentar