Posts

JEJAK SANG GURU 29

 Kabar dari Kota Pagi di desa selalu diawali dengan suara ayam berkokok dan langkah-langkah ringan para ibu yang menuju sumur. Kabut tipis masih menyelimuti perbukitan ketika Ustaz Mahfud bersiap berangkat ke madrasah. Hasan sudah lebih dulu berlari keluar rumah, membawa tasnya yang lusuh, siap untuk pelajaran hari ini. Di tengah persiapan pagi, seorang pemuda datang ke rumah Ustaz Mahfud. Ia mengenakan jaket lusuh dan membawa sebuah amplop coklat. "Assalamu'alaikum, Ustaz," sapanya sopan. "Wa'alaikumussalam. Oh, kau Rudi, kan? Ada apa pagi-pagi ke sini?" Rudi, yang merupakan salah satu pemuda desa yang bekerja sebagai kernet angkutan desa, menyerahkan amplop itu. "Ini surat dari anak Ustaz. Tadi pagi sampai di kota, dan dititipkan padaku waktu aku mengantar barang." Mata Ustaz Mahfud berbinar. Sudah lama ia menantikan kabar dari anaknya. "Terima kasih, Rudi." Rudi tersenyum lalu pamit. Ustaz Mahfud membuka surat itu dengan hati-hati dan ...

JEJAK SANG GURU 28

Hujan di Jalan Setapak Langit mulai mendung saat Hasan melangkah keluar dari madrasah. Ujian hari ini cukup menguras pikirannya, tapi ada kelegaan dalam hatinya. Ia berjalan perlahan di jalan setapak yang biasa dilaluinya setiap pulang sekolah, melewati kebun dan pekarangan rumah warga. Tiba-tiba, angin bertiup lebih kencang, dan tak lama kemudian rintik hujan mulai turun. Hasan berhenti sejenak, menatap langit yang kelabu. Hujan semakin deras, membasahi tanah hingga aroma khas tanah basah tercium kuat. Di kejauhan, suara anak-anak tertawa terdengar dari sawah. Hasan melihat beberapa temannya yang juga pulang sekolah malah berlarian ke tengah hujan, melepas baju mereka dan hanya menyisakan celana pendek. Mereka melompat-lompat di genangan air, saling mencipratkan air hujan ke wajah satu sama lain. Hasan tersenyum. Di usianya yang masih sepuluh tahun, hujan adalah bagian dari kebahagiaan sederhana. Tanpa berpikir panjang, ia ikut berlari ke arah mereka. “Hei, Hasan! Ayo ke sini!” t...

POLITISASI HUKUM

 (Cerpen) 1. Penangkapan Dini Hari Pukul tiga dini hari, ketukan keras menggema di apartemen Indra Wijaya di Jakarta Selatan. "Pak Indra Wijaya, buka pintunya! Ini kepolisian!" Indra terbangun, jantungnya berdegup cepat. Di sebelahnya, Rina, istrinya, ikut tersentak. "Ada apa, Mas?" bisik Rina dengan wajah penuh kecemasan. Indra bangkit, menarik napas panjang, lalu berjalan ke pintu. Begitu ia membukanya, beberapa pria berpakaian preman menyerbu masuk. "Anda ditangkap atas dugaan korupsi dana bantuan sosial," ujar salah satu polisi seraya menyodorkan surat perintah penangkapan. Korupsi? Indra merasa tubuhnya bergetar. Ia adalah seorang akademisi hukum yang kini menjadi aktivis anti-korupsi. Ia tak pernah menyentuh uang rakyat sepeser pun. "Saya tidak pernah melakukan itu! Ini pasti salah!" Tapi polisi tak menggubrisnya. Tangannya diborgol, dan dalam hitungan detik, ia sudah diseret keluar. Di luar, wartawan sudah menunggu, seolah penangkapannya t...

DEMONSTRAN 3

 Setelah kembali dari desa, Nadya mulai mempertimbangkan saran ayahnya dengan lebih serius. Arif, yang telah mengabdikan dirinya untuk pendidikan di desa, memahami pentingnya memiliki akademisi dan pendidik yang berjuang di dalam sistem perkotaan. Bagi Arif, perubahan tidak hanya bisa dilakukan dari pinggiran, tetapi juga dari dalam institusi. "Kamu bisa lebih bermanfaat kalau tetap di kota, Nadya. Kamu bisa jadi asisten dosen, melanjutkan S2, dan suatu hari nanti, jadi dosen tetap. Dengan begitu, kamu bisa mendidik lebih banyak orang dan membawa perubahan dalam sistem," kata Arif saat mereka berbincang di ruang tamu rumah kontrakan Nadya di Malang. Nadya memahami maksud ayahnya. Pengabdian memang bukan hanya soal turun ke desa atau berdemo di jalanan. Ada banyak cara untuk memperjuangkan nilai-nilai yang diyakininya, termasuk melalui jalur akademik. Di kampusnya, Universitas Negeri Malang, ia mulai lebih aktif dalam kegiatan akademik, membantu dosennya dalam penelitian, dan ...

DEMONSTRAN 4

 Demonstrasi dengan tema #IndonesiaGelap terus berlanjut, menyuarakan isu ketidakadilan, kenaikan harga kebutuhan pokok, serta korupsi di berbagai sektor pemerintahan. Namun, media mainstream mulai memainkan perannya dengan memberitakan aksi mahasiswa secara tidak berimbang. Beberapa stasiun televisi nasional hanya menampilkan potongan-potongan rekaman yang menunjukkan ketegangan antara mahasiswa dan aparat, tanpa menyoroti tuntutan yang mereka bawa. Beberapa media bahkan menyebut demonstrasi ini sebagai aksi anarkis yang ditunggangi kepentingan tertentu. Di media sosial, tagar #ShameOnYou mulai trending di X (Twitter), sebagai bentuk kritik terhadap media yang dianggap tidak netral dan cenderung menyudutkan gerakan mahasiswa. Mahasiswa dan aktivis digital mulai membagikan video asli dari lapangan, yang menunjukkan bahwa demonstrasi sebenarnya berlangsung damai sebelum ada upaya provokasi dari pihak tertentu. Sementara itu, Nadya dan teman-temannya di Malang terus berusaha melurusk...

DEMONSTRAN 5

 Nadya duduk di depan layar laptopnya, membaca berita-berita terbaru tentang gerakan mahasiswa yang semakin mendapat tekanan dari berbagai pihak. Diskusi di media sosial memanas, dan beberapa teman aktivisnya mulai mendapatkan intimidasi dari akun-akun anonim. Tagar #ShameOnYou yang semula menggema di Twitter kini mulai dibanjiri oleh kontra-narasi dari buzzer yang berusaha menggiring opini publik bahwa gerakan mahasiswa ini hanyalah alat politik pihak tertentu. Sementara itu, di kampusnya, Sidra sebagai dosen sekaligus mantan aktivis terus memberikan wawasan kritis kepada para mahasiswa. Dalam sebuah diskusi di ruang seminar, ia mengingatkan bahwa sejarah telah menunjukkan bagaimana gerakan mahasiswa sering kali menghadapi represi dan distorsi informasi. "Dulu, di era 1998, pemerintah menggunakan media cetak dan televisi untuk menggiring opini. Sekarang, era digital membawa tantangan baru, yaitu perang informasi di dunia maya," kata Sidra. Nadya mulai menyadari bahwa perjuan...

DEMONSTRAN 2

 Jakarta, Mei 1998. Ribuan mahasiswa dari berbagai daerah berkumpul di sekitar Gedung DPR/MPR. Arif dan rombongan mahasiswa dari Malang tiba di ibu kota setelah perjalanan panjang dengan kereta yang penuh sesak oleh gelombang demonstran dari seluruh penjuru negeri. Mereka bergabung dalam aksi besar menuntut reformasi. Gas air mata, tembakan peringatan, dan bentrokan dengan aparat menjadi pemandangan sehari-hari. Namun, semangat perjuangan tak surut. Di tengah kerumunan, Arif menyaksikan sejarah terukir. Reformasi akhirnya terjadi, Soeharto lengser, tetapi perjuangan belum usai. Setelah peristiwa itu, Arif menyelesaikan kuliahnya, lalu memilih pulang ke desa, mendirikan sekolah, dan menjauh dari hiruk-pikuk politik. Dua puluh lima tahun kemudian, semangat perjuangan itu berlanjut dalam bentuk yang berbeda. Nadya, anak Arif, kini mahasiswa di Universitas Negeri Malang (UM), jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia. Meski tidak hidup di era represif seperti ayahnya, ia melihat ketimpangan ...

JEJAK SANG GURU 27

BAB 31: Surat dari Anak Ustaz Mahfud Malam itu, Ustaz Mahfud baru saja selesai menunaikan salat Isya di surau. Setelah berbincang sebentar dengan beberapa jamaah, ia pulang ke rumah melewati jalan setapak yang sunyi. Udara pegunungan terasa dingin, namun hatinya hangat karena melihat madrasah semakin berkembang. Setibanya di rumah, istrinya, Bu Siti, menyambutnya dengan senyum hangat. "Pak, ada surat dari anak kita," kata Bu Siti sambil menyerahkan amplop coklat yang sudah agak kusut karena perjalanan jauh. Ustaz Mahfud menerima surat itu dengan hati-hati. Sudah lama ia tidak mendapat kabar dari anaknya yang sedang kuliah di kota. Tanpa listrik dan telepon di desa mereka, satu-satunya cara berkomunikasi hanyalah melalui surat yang datangnya bisa berhari-hari, bahkan berminggu-minggu. Dengan penerangan lampu minyak, ia membuka surat itu dan mulai membaca pelan-pelan: > Ayah dan Ibu yang kusayangi, Semoga Ayah dan Ibu dalam keadaan sehat. Maaf aku jarang mengirim surat. Sela...