DEMONSTRAN 2
Jakarta, Mei 1998. Ribuan mahasiswa dari berbagai daerah berkumpul di sekitar Gedung DPR/MPR. Arif dan rombongan mahasiswa dari Malang tiba di ibu kota setelah perjalanan panjang dengan kereta yang penuh sesak oleh gelombang demonstran dari seluruh penjuru negeri. Mereka bergabung dalam aksi besar menuntut reformasi. Gas air mata, tembakan peringatan, dan bentrokan dengan aparat menjadi pemandangan sehari-hari. Namun, semangat perjuangan tak surut.
Di tengah kerumunan, Arif menyaksikan sejarah terukir. Reformasi akhirnya terjadi, Soeharto lengser, tetapi perjuangan belum usai. Setelah peristiwa itu, Arif menyelesaikan kuliahnya, lalu memilih pulang ke desa, mendirikan sekolah, dan menjauh dari hiruk-pikuk politik.
Dua puluh lima tahun kemudian, semangat perjuangan itu berlanjut dalam bentuk yang berbeda. Nadya, anak Arif, kini mahasiswa di Universitas Negeri Malang (UM), jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia. Meski tidak hidup di era represif seperti ayahnya, ia melihat ketimpangan ekonomi yang semakin nyata, harga sembako yang melambung, dan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah yang terus merosot.
Namun, zaman telah berubah. Jika Arif dan teman-temannya mengorganisir gerakan lewat diskusi di kontrakan dan selebaran cetak, mahasiswa era digital seperti Nadya memiliki alat yang jauh lebih canggih. Informasi tersebar dengan cepat melalui media sosial, petisi daring, investigasi digital, dan kampanye kesadaran di platform seperti YouTube, Instagram, dan Twitter.
Suatu sore di kosnya, Nadya membaca berita di ponselnya tentang korupsi di pemerintahan yang melibatkan pejabat tinggi. Ia membuka grup Telegram mahasiswa, tempat diskusi berlangsung lebih intens dibandingkan di kelas. Sebuah ajakan muncul di grup:
"Aksi damai di depan Balai Kota! Kita harus bersuara. Jika kita diam, kita membiarkan ketidakadilan terus terjadi!"
Nadya terdiam. Ia teringat cerita ayahnya tentang demonstrasi besar di masa lalu. Namun, di era sekarang, demonstrasi bukan satu-satunya cara untuk menyuarakan kebenaran. Nadya mulai menulis artikel opini di media daring kampus, menggali data dari sumber terbuka, dan menyusun analisis kritis. Tulisannya viral, diangkat oleh media nasional, dan menjadi bahan diskusi di kalangan mahasiswa.
Malam itu, ia menelepon ayahnya.
"Ayah, dulu kalian berjuang dengan turun ke jalan. Sekarang, aku merasa perlawanan bisa dilakukan lewat tulisan, data, dan media sosial. Apa pendapat Ayah?"
Arif tersenyum di seberang telepon. "Setiap generasi punya caranya sendiri. Yang terpenting, perjuangan tetap berdasarkan kejujuran, kesadaran sosial, dan strategi yang matang. Jangan hanya mengikuti arus, tetapi pastikan kau benar-benar memahami apa yang kau perjuangkan."
Percakapan itu semakin membulatkan tekad Nadya. Ia sadar, perjuangan tak harus selalu berada di jalanan. Era telah berubah, dan begitu pula cara mahasiswa bergerak. Kini, ia berada di garda depan aktivisme digital, mengawal reformasi dengan cara yang sesuai dengan zamannya.
-----
Nadya akhirnya memutuskan untuk pulang ke desa di lereng Gunung Slamet setelah serangkaian pengalaman yang mengubah cara pandangnya tentang aktivisme. Ia ingin berbagi cerita dengan ayahnya, Arif, dan mendengar langsung pendapatnya tentang pergerakan mahasiswa masa kini.
Saat tiba di rumah, ia menemukan Arif sedang duduk di beranda, membaca berita dari tablet yang diberikan Sidra beberapa tahun lalu. Meski tinggal di desa terpencil, Arif tetap mengikuti perkembangan sosial-politik melalui media digital dan diskusi daring dengan teman-teman lamanya.
"Bagaimana Malang? Masih seramai dulu?" tanya Arif sambil menatap putrinya dengan penuh perhatian.
Nadya mengangguk. "Masih, Pak. Tapi sekarang gerakan mahasiswa lebih banyak menggunakan media sosial untuk mengorganisir aksi. Demonstrasi tetap ada, tapi strategi kami lebih beragam."
Arif tersenyum. "Zaman berubah, tapi inti perjuangan tetap sama. Kami dulu berjuang dengan selebaran, diskusi di kontrakan, dan turun ke jalan. Kalian sekarang punya internet, media sosial, dan platform digital. Yang penting, jangan sampai kehilangan esensi perjuangan itu sendiri."
Nadya mengangguk. Ia menceritakan bagaimana Sidra, yang kini menjadi dosen, banyak membimbingnya dalam memahami perjuangan mahasiswa modern. Sidra menjelaskan bahwa aktivisme bukan hanya turun ke jalan, tapi juga membangun kesadaran publik melalui tulisan, diskusi, dan advokasi berbasis data.
Arif terdiam sejenak, mengenang masa-masa ketika ia dan Sidra bersama-sama berjuang di Senat Mahasiswa. Kini, sahabatnya itu telah menjadi dosen yang membimbing generasi baru, sementara ia sendiri memilih jalan berbeda dengan mendirikan sekolah di desa.
"Sidra memang sejak dulu selalu punya cara pandang yang tajam," ujar Arif. "Dia paham bahwa perjuangan itu harus berkelanjutan. Bukan sekadar melawan rezim, tapi juga membangun kesadaran masyarakat."
Nadya termenung. Ia mulai memahami bahwa perjuangan bisa dilakukan dengan berbagai cara. Ayahnya memilih pendidikan sebagai jalannya, sementara Sidra memilih membentuk pemikiran mahasiswa di kampus.
"Pak, apakah dulu Ayah menyesal ikut dalam gerakan mahasiswa?" tanya Nadya.
Arif menggeleng. "Tidak pernah. Setiap generasi punya perannya sendiri. Yang penting, jangan sampai kehilangan arah dan prinsip. Selama kamu tahu tujuanmu, perjuanganmu tidak akan sia-sia."
Percakapan itu menutup malam dengan kehangatan. Nadya merasa semakin yakin dengan jalannya. Perjuangan mahasiswa dari dulu hingga kini memiliki benang merah yang sama—perlawanan terhadap ketidakadilan, hanya bentuk dan konteksnya yang berbeda. Yang terpenting adalah tetap berpegang pada prinsip dan tidak mudah terpengaruh oleh kepentingan sesaat.
Di bawah langit malam di lereng Gunung Slamet, Nadya menatap bintang-bintang. Ia tahu, perjalanan masih panjang. Namun, kini ia lebih siap untuk melangkah.
-----
Setelah berbulan-bulan terlibat dalam berbagai diskusi dan aksi mahasiswa, Nadya merasa perlu pulang ke desa. Ia ingin berbicara langsung dengan ayahnya, Arif, tentang apa yang telah ia alami dan bagaimana ia melihat pergerakan mahasiswa saat ini. Dengan tas ransel berisi beberapa stel pakaian dan buku-buku yang selalu setia menemani, ia menaiki bus menuju kampung halamannya di lereng Gunung Slamet.
Di perjalanan, Nadya merenungkan banyak hal. Ia ingat bagaimana Sidra, seniornya yang dulu ketua senat mahasiswa, kini menjadi dosen yang tetap aktif dalam dunia akademik dan pergerakan sosial. Sidra sering mengatakan bahwa perjuangan mahasiswa tidak boleh berhenti di kampus, tetapi harus berlanjut ke masyarakat luas, ke desa-desa, ke ruang-ruang pendidikan, dan bahkan ke dunia politik. Perjuangan bisa dilakukan dengan banyak cara, tidak hanya turun ke jalan.
Setibanya di rumah, Nadya disambut hangat oleh Arif. Meski wajah ayahnya tampak lebih tua dibanding terakhir kali ia lihat, matanya masih memancarkan semangat yang sama seperti dulu. Mereka duduk di beranda rumah yang menghadap ke sawah, menikmati teh hangat sambil berbincang.
"Bagaimana Malang?" tanya Arif membuka percakapan.
"Rame, Yah. Banyak teman-teman yang turun ke jalan. Tuntutan-tuntutan yang dulu Ayah suarakan, sekarang masih kami perjuangkan. Harga-harga naik, korupsi masih merajalela, kepercayaan pada pemerintah makin menurun. Rasanya, seperti siklus yang berulang," jawab Nadya sambil menatap langit sore yang mulai memerah.
Arif tersenyum tipis. "Perjuangan memang seperti ombak, Nak. Selalu ada pasang surutnya. Dulu, ketika Ayah seumurmu, kami juga merasa sedang berada di titik perubahan besar. Reformasi 1998 itu sejarah, tapi bukan akhir dari perjuangan."
Nadya mengangguk. "Tapi, Yah, sekarang beda. Kami punya media sosial, internet, berita cepat menyebar, dan semua orang bisa bicara. Tapi kadang itu juga yang membuat segalanya jadi lebih sulit. Ada begitu banyak suara, begitu banyak kepentingan yang bermain."
Arif menghela napas. "Teknologi memang mengubah cara kita bergerak. Dulu, Ayah dan teman-teman hanya mengandalkan koran, selebaran, dan diskusi kecil di kontrakan. Sekarang, informasi bisa menyebar dalam hitungan detik. Tapi yang tetap harus dijaga adalah esensi perjuangan: keberpihakan pada kebenaran dan keadilan. Jangan sampai kita justru larut dalam kebisingan tanpa substansi."
Nadya menatap ayahnya dengan kagum. Ia tahu bahwa Arif telah banyak melalui masa-masa sulit, dari menjadi mahasiswa aktivis hingga memilih jalan sunyi membangun sekolah di desa. Ayahnya telah memilih jalur perjuangannya sendiri, dan mungkin, ia pun harus menentukan jalannya sendiri.
"Jadi, menurut Ayah, apa yang harus kulakukan?" tanya Nadya.
Arif tersenyum. "Lanjutkan perjuanganmu, tapi jangan lupa bahwa perjuangan tidak hanya di jalanan. Pendidikan, literasi, membangun kesadaran—itu juga bagian dari perlawanan. Kamu bisa memilih jalanmu sendiri."
Nadya mengangguk pelan. Ia merasa percakapannya dengan Arif memberikan perspektif baru. Perjuangan mahasiswa bukan hanya tentang demonstrasi atau orasi, tetapi juga tentang bagaimana perubahan bisa diwujudkan dalam berbagai aspek kehidupan.
Malam itu, Nadya tidur dengan pikiran yang lebih jernih. Ia merasa bahwa perjalanan pulangnya ke desa bukan hanya tentang melepas rindu, tetapi juga menemukan kembali arah perjuangannya. Besok, ia akan kembali ke Malang, tetapi dengan pemahaman yang lebih dalam tentang arti menjadi seorang aktivis di era yang terus berubah.
Komentar
Posting Komentar