Posts

Showing posts with the label 98

DEMONSTRAN 3

 Setelah kembali dari desa, Nadya mulai mempertimbangkan saran ayahnya dengan lebih serius. Arif, yang telah mengabdikan dirinya untuk pendidikan di desa, memahami pentingnya memiliki akademisi dan pendidik yang berjuang di dalam sistem perkotaan. Bagi Arif, perubahan tidak hanya bisa dilakukan dari pinggiran, tetapi juga dari dalam institusi. "Kamu bisa lebih bermanfaat kalau tetap di kota, Nadya. Kamu bisa jadi asisten dosen, melanjutkan S2, dan suatu hari nanti, jadi dosen tetap. Dengan begitu, kamu bisa mendidik lebih banyak orang dan membawa perubahan dalam sistem," kata Arif saat mereka berbincang di ruang tamu rumah kontrakan Nadya di Malang. Nadya memahami maksud ayahnya. Pengabdian memang bukan hanya soal turun ke desa atau berdemo di jalanan. Ada banyak cara untuk memperjuangkan nilai-nilai yang diyakininya, termasuk melalui jalur akademik. Di kampusnya, Universitas Negeri Malang, ia mulai lebih aktif dalam kegiatan akademik, membantu dosennya dalam penelitian, dan ...

DEMONSTRAN 2

 Jakarta, Mei 1998. Ribuan mahasiswa dari berbagai daerah berkumpul di sekitar Gedung DPR/MPR. Arif dan rombongan mahasiswa dari Malang tiba di ibu kota setelah perjalanan panjang dengan kereta yang penuh sesak oleh gelombang demonstran dari seluruh penjuru negeri. Mereka bergabung dalam aksi besar menuntut reformasi. Gas air mata, tembakan peringatan, dan bentrokan dengan aparat menjadi pemandangan sehari-hari. Namun, semangat perjuangan tak surut. Di tengah kerumunan, Arif menyaksikan sejarah terukir. Reformasi akhirnya terjadi, Soeharto lengser, tetapi perjuangan belum usai. Setelah peristiwa itu, Arif menyelesaikan kuliahnya, lalu memilih pulang ke desa, mendirikan sekolah, dan menjauh dari hiruk-pikuk politik. Dua puluh lima tahun kemudian, semangat perjuangan itu berlanjut dalam bentuk yang berbeda. Nadya, anak Arif, kini mahasiswa di Universitas Negeri Malang (UM), jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia. Meski tidak hidup di era represif seperti ayahnya, ia melihat ketimpangan ...

DEMONSTRAN 1

 Di sebuah desa kecil di lereng Gunung Slamet, Arif duduk di beranda rumah kayunya, menatap hamparan sawah yang mulai menguning. Suasana sore yang tenang hanya diiringi suara jangkrik dan gemericik air dari parit kecil di samping rumah. Sejak memutuskan meninggalkan kota dan menetap di desa ini, hidupnya jauh dari hingar-bingar pergerakan yang dulu begitu lekat dalam kesehariannya. Kini, ia lebih banyak menghabiskan waktu mengajar anak-anak desa di sekolah sederhana yang ia dirikan bersama beberapa warga setempat. Namun, meskipun telah lama meninggalkan dunia aktivisme mahasiswa, Arif tetap mengikuti perkembangan sosial-politik. Ia bukan lagi pembaca koran cetak seperti dulu. Kini, ponselnya selalu menyala dengan notifikasi dari portal berita daring, diskusi di grup Telegram, dan kanal YouTube yang membahas peristiwa politik terkini. Dunia telah berubah, tetapi ketimpangan dan ketidakadilan sosial masih tetap sama seperti dulu. Sore itu, putrinya, Nadya, menelepon dari Malang. “Aya...