DEMONSTRAN 1

 Di sebuah desa kecil di lereng Gunung Slamet, Arif duduk di beranda rumah kayunya, menatap hamparan sawah yang mulai menguning. Suasana sore yang tenang hanya diiringi suara jangkrik dan gemericik air dari parit kecil di samping rumah. Sejak memutuskan meninggalkan kota dan menetap di desa ini, hidupnya jauh dari hingar-bingar pergerakan yang dulu begitu lekat dalam kesehariannya. Kini, ia lebih banyak menghabiskan waktu mengajar anak-anak desa di sekolah sederhana yang ia dirikan bersama beberapa warga setempat.

Namun, meskipun telah lama meninggalkan dunia aktivisme mahasiswa, Arif tetap mengikuti perkembangan sosial-politik. Ia bukan lagi pembaca koran cetak seperti dulu. Kini, ponselnya selalu menyala dengan notifikasi dari portal berita daring, diskusi di grup Telegram, dan kanal YouTube yang membahas peristiwa politik terkini. Dunia telah berubah, tetapi ketimpangan dan ketidakadilan sosial masih tetap sama seperti dulu.

Sore itu, putrinya, Nadya, menelepon dari Malang. “Ayah lihat berita hari ini?” tanyanya dengan suara bersemangat. Nadya adalah mahasiswa semester dua di Universitas Negeri Malang, jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia. Seperti ayahnya di masa muda, ia juga kritis terhadap keadaan sosial.

“Apa yang terjadi?” Arif bertanya sambil menyeruput teh panasnya.

“Demo mahasiswa di Jakarta makin besar. Katanya bakal ada aksi serentak di beberapa kota, termasuk di Malang.”

Arif terdiam sejenak, mengenang tahun-tahun ketika ia sendiri berdiri di barisan depan demonstrasi. Ia tahu bagaimana perjuangan mahasiswa bisa membawa perubahan, tetapi ia juga tahu risiko yang mengiringinya.

“Kamu sendiri, Nadya? Apa kamu akan ikut turun ke jalan?” tanyanya hati-hati.

Nadya menghela napas. “Aku masih bingung, Yah. Beberapa teman di kampus aktif dalam gerakan, tapi sekarang aktivisme berbeda. Kami pakai media sosial, buat kampanye online, dan informasi menyebar lebih cepat. Tidak harus selalu turun ke jalan, tapi tetap saja… rasanya ada panggilan untuk ikut berjuang.”

Arif tersenyum tipis. “Zaman boleh berubah, cara perjuangan boleh berbeda, tapi tujuannya selalu sama: melawan ketidakadilan.”

Mereka berbincang lama, membahas bagaimana mahasiswa dulu dan sekarang bergerak. Nadya mendengar kisah-kisah dari ayahnya tentang Reformasi 1998, bagaimana mahasiswa berjuang menuntut perubahan. Meski jarak memisahkan mereka, percakapan itu menjadi jembatan antara dua generasi yang memiliki satu semangat: memperjuangkan keadilan.

Sore berganti malam, Arif menatap langit berbintang di atas desanya. Dalam hatinya, ia merasa bangga sekaligus khawatir. Sejarah selalu berulang, dan kini giliran Nadya menghadapi zamannya sendiri.

------

Tahun 1996, Arif menapakkan kaki di Malang untuk pertama kalinya. Udara kota ini lebih sejuk dibanding kota asalnya di dataran rendah. Ia hanya membawa sebuah tas ransel—berisi tiga stel pakaian dan beberapa buku—serta sebuah harapan: menempuh pendidikan tinggi di Sekolah Tinggi Bahasa dan Sastra Malang. Kampus kecil itu terletak di pojok kota, jauh dari pusat keramaian, tetapi memiliki lingkungan akademik yang cukup dinamis. 

Hari-hari awalnya di kampus dihabiskan dengan mengenali lingkungan baru. Ia mulai menemukan tempat-tempat favoritnya: warung kopi kecil dekat kosannya, perpustakaan kampus yang sunyi, dan kantin mahasiswa yang selalu riuh dengan diskusi. Meski belum mengenal banyak orang, Arif segera menyadari satu hal: di kampus ini, ada banyak suara yang mempertanyakan keadaan negeri. Perkenalannya dengan dunia aktivisme dimulai dari seorang senior bernama Zikrul. Di suatu sore, saat Arif asyik membaca buku di taman kampus, Zikrul datang dan melirik judul buku yang sedang dibacanya: Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. 

“Kamu suka Pram?” tanya Zikrul. Arif mengangkat wajahnya. “Baru mulai membaca, Mas.” Zikrul tersenyum. 

“Kalau suka Pram, kamu pasti tertarik dengan gerakan mahasiswa. Ada diskusi nanti malam di sekretariat. Datang saja kalau mau.” Arif tidak langsung menjawab, tetapi undangan itu menggelitik rasa penasarannya. Malam itu, ia akhirnya datang ke sekretariat organisasi mahasiswa, sebuah ruangan sempit dengan rak penuh buku dan dinding yang dipenuhi poster-poster pergerakan. Diskusi malam itu membahas kondisi ekonomi Indonesia yang mulai goyah. Mahasiswa-mahasiswa senior berbicara tentang bagaimana kebijakan pemerintah menyebabkan kesenjangan semakin lebar. Ada yang membahas korupsi, ada yang mengkritik sistem pendidikan, dan ada yang menyoroti masalah kebebasan berekspresi. Arif mendengarkan dengan seksama. Ia bukan orang yang suka berbicara di depan umum, tetapi malam itu ia merasa menemukan sesuatu yang selama ini dicarinya: ruang untuk memahami dan mempertanyakan keadaan. Hari-hari berikutnya, ia semakin sering datang ke diskusi. Ia mulai membaca buku-buku pemikir besar: Soekarno, Hatta, Agus Salim, dan Soe Hok Gie. Ia juga mulai menyadari bahwa menjadi mahasiswa bukan hanya soal kuliah dan nilai, tetapi juga tentang memahami tanggung jawab sosial. Suatu hari, Zikrul menawarinya sesuatu. “Besok ada aksi kecil di depan gedung rektorat. Kita menuntut transparansi anggaran kampus. Ikut?” Arif terdiam sejenak. Ia tahu bahwa ini adalah langkah pertama menuju sesuatu yang lebih besar. Ia menarik napas panjang, lalu mengangguk. “Aku ikut.” Aksi itu memang kecil, hanya puluhan mahasiswa yang membawa spanduk dan berorasi. Namun, bagi Arif, ini adalah awal dari perjalanan panjangnya dalam dunia aktivisme. Ia tidak tahu bahwa beberapa tahun ke depan, namanya akan tercatat dalam sejarah sebagai bagian dari gerakan mahasiswa yang mengguncang negeri.

------

Tahun 1997, Indonesia berada di ambang kehancuran ekonomi. Harga kebutuhan pokok meroket, PHK massal terjadi di mana-mana, dan kepercayaan terhadap pemerintah semakin runtuh. Mahasiswa di berbagai kota mulai bergerak, termasuk di Malang.

Di depan Gedung DPRD Malang, ratusan mahasiswa berkumpul, membawa spanduk besar bertuliskan "Turunkan Soeharto! Reformasi atau Mati!" Suara orasi menggema di udara, menyuarakan ketidakpuasan atas pemerintahan yang semakin represif.

Arif dan Zikrul berdiri di tengah kerumunan, jaket almamater mereka basah oleh keringat.

"Kita tidak bisa hanya diam! Jika kita diam, maka kita adalah bagian dari masalah!" teriak Zikrul lantang, suaranya memantul di dinding gedung dewan.

Massa bertepuk tangan, meneriakkan yel-yel perlawanan. Beberapa mahasiswa membacakan tuntutan: turunkan harga kebutuhan pokok, berantas korupsi, dan, yang paling utama, lengserkan Soeharto.

Demonstrasi di Malang berlangsung selama seminggu penuh. Setiap hari, jumlah mahasiswa yang datang semakin banyak. Para dosen mulai turun tangan, sebagian mendukung, sebagian mencoba meredam.

Di hari kelima, polisi mulai berjaga lebih ketat. Mobil water cannon diparkir tak jauh dari lokasi aksi, sementara aparat bersenjata lengkap mengawasi dari kejauhan. Ketegangan meningkat, tetapi mahasiswa tidak gentar.

"Lawan! Jangan takut!" teriak salah satu orator.

Pada hari ketujuh, rapat konsolidasi digelar di sebuah kontrakan mahasiswa.

"Kita harus ke Jakarta. Ini bukan hanya perjuangan mahasiswa Malang, tapi perjuangan seluruh rakyat," ujar Bagas, mahasiswa hukum yang menjadi salah satu koordinator aksi.

Akhirnya, keputusan diambil. Puluhan mahasiswa dari Malang akan berangkat ke Jakarta, bergabung dengan ribuan mahasiswa lainnya dalam aksi yang lebih besar.

Sehari sebelum keberangkatan, mereka mengumpulkan bekal seadanya: beberapa stel pakaian, buku-buku perjuangan, dan semangat yang tak tergoyahkan.

Perjalanan dimulai. Dengan satu gerbong kereta yang penuh oleh mahasiswa, mereka menuju Jakarta, membawa api reformasi dari Malang ke jantung kekuasaan.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

JEJAK SANG GURU 24

MENGULANG DEMONSTRASI

JEJAK SANG GURU 16