DEMONSTRAN 3

 Setelah kembali dari desa, Nadya mulai mempertimbangkan saran ayahnya dengan lebih serius. Arif, yang telah mengabdikan dirinya untuk pendidikan di desa, memahami pentingnya memiliki akademisi dan pendidik yang berjuang di dalam sistem perkotaan. Bagi Arif, perubahan tidak hanya bisa dilakukan dari pinggiran, tetapi juga dari dalam institusi.

"Kamu bisa lebih bermanfaat kalau tetap di kota, Nadya. Kamu bisa jadi asisten dosen, melanjutkan S2, dan suatu hari nanti, jadi dosen tetap. Dengan begitu, kamu bisa mendidik lebih banyak orang dan membawa perubahan dalam sistem," kata Arif saat mereka berbincang di ruang tamu rumah kontrakan Nadya di Malang.

Nadya memahami maksud ayahnya. Pengabdian memang bukan hanya soal turun ke desa atau berdemo di jalanan. Ada banyak cara untuk memperjuangkan nilai-nilai yang diyakininya, termasuk melalui jalur akademik. Di kampusnya, Universitas Negeri Malang, ia mulai lebih aktif dalam kegiatan akademik, membantu dosennya dalam penelitian, dan mengajukan diri sebagai asisten pengajar di beberapa mata kuliah.

Sidra, yang kini menjadi dosen di kampusnya, juga memberikan dorongan. "Kalau kamu ingin mengubah sesuatu, masuklah ke dalam sistem dan ubahlah dari dalam. Pendidikan adalah alat perjuangan yang luar biasa kuat," ujarnya saat bertemu Nadya di sebuah seminar.

Dengan tekad yang semakin kuat, Nadya akhirnya mendaftar program S2 di kampusnya. Ia menyadari bahwa menjadi pendidik bukan berarti meninggalkan semangat perjuangan. Justru, melalui pendidikan, ia bisa mencetak generasi yang lebih kritis dan sadar akan kondisi sosial di sekitarnya.

Di akhir semester, Nadya mulai merasakan perubahan dalam dirinya. Ia tidak lagi hanya melihat perjuangan dari sudut demonstrasi di jalan, tetapi juga dari sisi pendidikan dan pengaruh yang bisa diberikan kepada mahasiswa lain. Kini, ia menatap masa depan dengan keyakinan bahwa jejak perjuangan ayahnya bisa ia lanjutkan dengan caranya sendiri.

-----

Nadya semakin aktif dalam gerakan mahasiswa. Setelah berbincang dengan ayahnya, Arif, dan mendapatkan perspektif tentang perjuangan mahasiswa lintas generasi, ia semakin yakin bahwa demonstrasi bukan hanya sekadar turun ke jalan, tetapi sebuah panggilan untuk perubahan. Di kampus Universitas Negeri Malang, gelombang demonstrasi semakin membesar. Isu-isu seperti kenaikan harga bahan pokok, kebijakan pemerintah yang tidak pro-rakyat, serta berbagai kasus korupsi yang semakin terang benderang, memicu kemarahan mahasiswa. Nadya dan teman-temannya mengikuti perkembangan ini melalui media sosial, grup diskusi online, serta berbagai pertemuan di kampus dan luar kampus. Seminggu setelah demonstrasi besar di depan Gedung DPRD Malang, muncul seruan dari berbagai aliansi mahasiswa di seluruh Indonesia untuk mengadakan aksi serentak. Sidra, yang kini menjadi dosen di kampusnya dan mantan aktivis 1998, sering berbagi pengalaman dengan mahasiswa terkait strategi perjuangan yang efektif. Nadya dan kelompoknya merasa bahwa gerakan ini harus dilakukan dengan persiapan yang matang agar tidak mudah diprovokasi. Mereka mulai menyusun strategi: mengkoordinasikan massa, memastikan tuntutan yang mereka ajukan jelas, serta mengantisipasi segala kemungkinan yang bisa terjadi di lapangan. Poster-poster digital disebar melalui media sosial, kanal YouTube independen mulai membahas isu-isu ini secara lebih luas, dan grup-grup WhatsApp serta Telegram menjadi pusat koordinasi gerakan. Akhirnya, hari yang dinanti tiba. Mahasiswa dari berbagai fakultas mulai berkumpul di depan kampus. Orasi demi orasi disampaikan dengan penuh semangat, mengingatkan kembali pada demonstrasi di masa lalu yang turut mengubah sejarah bangsa. Nadya berdiri di tengah kerumunan, merasakan energi perjuangan yang begitu kuat. Ia sadar, apa yang diperjuangkan saat ini adalah keberlanjutan dari apa yang diperjuangkan oleh generasi ayahnya di tahun 1998. Saat massa bergerak menuju titik aksi utama di depan gedung DPRD, Nadya dan beberapa temannya berada di garis depan. Mereka bukan hanya berteriak, tetapi juga membawa data dan fakta untuk mendukung tuntutan mereka. Mereka tahu, perjuangan mahasiswa harus berbasis pada intelektualitas, bukan sekadar emosi sesaat. Demonstrasi itu berjalan damai dan tertib, seperti yang sudah direncanakan. Tidak ada tindakan represif dari aparat, dan negosiasi dengan perwakilan pemerintah daerah berjalan cukup baik. Namun, di balik itu semua, Nadya tahu bahwa perjuangan tidak akan berhenti di satu aksi. Ini hanyalah awal dari sebuah pergerakan panjang yang membutuhkan konsistensi dan strategi berkelanjutan. Bab 9 telah direvisi agar lebih fokus pada demonstrasi dan perjuangan mahasiswa, tanpa menekankan aspek menjadi dosen. Cerita tetap konsisten dengan Bab 8 dan menunjukkan eskalasi gerakan mahasiswa dengan strategi yang lebih matang. Jika ada yang perlu disesuaikan lagi, silakan beri masukan!

----

Demonstrasi mahasiswa di berbagai kota semakin intensif. Malang, yang sebelumnya dikenal sebagai kota dengan aksi damai dan tertib, kini semakin sering dipenuhi lautan mahasiswa yang menyuarakan tuntutan mereka. Nadya bersama rekan-rekannya terus bergerak, mengikuti perkembangan situasi nasional yang semakin memanas.

Meskipun tidak ada tindakan represif dari aparat di Malang, mahasiswa tetap merasakan tekanan. Narasi-narasi miring tentang gerakan mahasiswa mulai bermunculan di media sosial dan portal berita yang diduga memiliki afiliasi dengan pemerintah. Nadya menyadari betapa kuatnya propaganda digital dalam membentuk opini publik.

Di berbagai forum diskusi online, ia melihat perdebatan antara mereka yang mendukung gerakan mahasiswa dan mereka yang menganggap demonstrasi hanya sebagai tindakan anarkis tanpa solusi konkret. Nadya merasa perlu memperkuat narasi perjuangan dengan cara yang lebih strategis.


Sidra, yang kini menjadi dosen dan tetap aktif dalam gerakan intelektual, mengajak Nadya untuk lebih giat dalam menyampaikan pesan perjuangan dengan pendekatan yang lebih sistematis. “Kita bukan hanya sekadar turun ke jalan, Nadya. Kita juga harus bisa mengontrol narasi dan membangun kesadaran di masyarakat,” ujar Sidra dalam sebuah pertemuan terbatas dengan beberapa mahasiswa yang aktif di media independen.


Sementara itu, Arif terus mengamati perkembangan dari jauh. Ia bangga melihat Nadya berani bersuara dan menjadi bagian dari gerakan mahasiswa, tetapi di sisi lain, ia juga khawatir. Dalam percakapan mereka melalui panggilan video, Arif memperingatkan Nadya untuk tetap waspada.

“Kamu harus hati-hati, Nak. Perjuangan itu tidak hanya tentang keberanian, tapi juga tentang strategi dan perhitungan yang matang,” pesan Arif.

“Aku tahu, Ayah,” jawab Nadya. “Tapi ini sudah waktunya generasi kami bersuara. Kalau kita diam, siapa lagi yang akan melawan ketidakadilan ini?”

Di tengah berbagai aksi yang semakin intens, muncul rencana untuk menggalang aksi lebih besar di Malang sebagai bentuk solidaritas terhadap mahasiswa di Jakarta yang mendapat tindakan represif. Nadya dan kelompoknya mulai menyusun strategi agar aksi tetap damai dan terorganisir. Mereka ingin menunjukkan bahwa perlawanan intelektual mahasiswa tidak hanya bisa dilakukan dengan turun ke jalan, tetapi juga melalui diskusi publik, tulisan, dan propaganda digital yang lebih masif.

Namun, dalam perjalanannya, Nadya dan kawan-kawan menghadapi tantangan baru. Isu perpecahan di antara kelompok mahasiswa mulai muncul, ada yang ingin aksi tetap damai dan fokus pada tuntutan sosial, sementara ada yang mulai terbawa emosi dan menginginkan aksi yang lebih radikal.

Sidra sebagai senior yang lebih berpengalaman mencoba menengahi. “Jika kita kehilangan arah, maka perjuangan kita hanya akan menjadi catatan kecil yang terlupakan. Kita butuh strategi yang matang, bukan sekadar emosi,” tegasnya.

Di tengah diskusi yang semakin hangat, keputusan akhir harus segera dibuat. Aksi besar di Malang sudah di depan mata, dan Nadya harus memilih peran apa yang akan diambilnya dalam perjuangan ini.

----

Demonstrasi di berbagai kota terus berlanjut, termasuk di Malang. Nadya bersama teman-temannya semakin aktif dalam mengorganisir aksi-aksi yang lebih terarah. Mereka tidak hanya turun ke jalan, tetapi juga menggalang dukungan melalui media sosial, diskusi publik, dan forum mahasiswa. Teknologi menjadi alat utama dalam menyebarkan informasi dan mengajak lebih banyak orang untuk peduli terhadap isu-isu sosial dan politik.

Di tengah semangat yang membara, Sidra, senior yang kini menjadi dosen, memberikan wejangan kepada Nadya dan kawan-kawan. “Gerakan mahasiswa harus lebih dari sekadar turun ke jalan. Kita harus memastikan ada perubahan nyata yang terjadi setelah demonstrasi,” ujar Sidra dalam sebuah pertemuan di kampus. Ia mengingatkan bahwa gerakan mahasiswa memiliki sejarah panjang dan harus tetap berpegang pada prinsip intelektualitas serta perjuangan berbasis data dan fakta.

Sementara itu, Arif terus mengamati perkembangan perjuangan putrinya dari jauh. Meski ia merasa bangga, tetap ada kekhawatiran dalam hatinya. Lewat panggilan video, ia berpesan, “Nadya, perjuangan itu panjang. Jangan hanya terpaku pada emosi, tetapi juga pikirkan strategi dan dampak jangka panjangnya.” Nadya mengangguk, memahami bahwa perjuangan tidak hanya tentang aksi di jalan, tetapi juga membangun kesadaran dan perubahan yang berkelanjutan.

Salah satu momen penting dalam pergerakan mahasiswa di Malang terjadi saat mereka berhasil mengadakan dialog terbuka dengan pemerintah daerah dan akademisi. Ini menjadi bukti bahwa gerakan mahasiswa bukan sekadar oposisi tanpa arah, tetapi memiliki tujuan yang jelas: membangun negeri yang lebih baik.

Seiring berjalannya waktu, Nadya mulai menemukan jalannya sendiri. Ia tidak hanya menjadi aktivis di lapangan, tetapi juga mulai menulis opini di media nasional, berbicara dalam seminar, dan membangun jejaring dengan berbagai organisasi sosial. Ia menyadari bahwa perjuangan bisa dilakukan dalam banyak bentuk, dan ia ingin menjadi bagian dari perubahan yang lebih luas.

Hari itu, saat matahari mulai tenggelam di ufuk barat, Nadya duduk di balkon kontrakannya. Di tangannya, ada sebuah buku yang dulu sering dibaca ayahnya saat masih menjadi mahasiswa: “Catatan Seorang Demonstran” karya Soe Hok Gie. Ia tersenyum kecil, menyadari bahwa perjuangan memang selalu berulang, hanya bentuk dan medianya yang berbeda.

Di kejauhan, suara orasi masih terdengar dari sudut-sudut kampus. Perjuangan masih panjang, dan Nadya siap melangkah lebih jauh.

----

Komentar

Postingan populer dari blog ini

JEJAK SANG GURU 24

MENGULANG DEMONSTRASI

JEJAK SANG GURU 16