POLITISASI HUKUM
(Cerpen)
1. Penangkapan Dini Hari
Pukul tiga dini hari, ketukan keras menggema di apartemen Indra Wijaya di Jakarta Selatan.
"Pak Indra Wijaya, buka pintunya! Ini kepolisian!"
Indra terbangun, jantungnya berdegup cepat. Di sebelahnya, Rina, istrinya, ikut tersentak.
"Ada apa, Mas?" bisik Rina dengan wajah penuh kecemasan.
Indra bangkit, menarik napas panjang, lalu berjalan ke pintu. Begitu ia membukanya, beberapa pria berpakaian preman menyerbu masuk.
"Anda ditangkap atas dugaan korupsi dana bantuan sosial," ujar salah satu polisi seraya menyodorkan surat perintah penangkapan.
Korupsi? Indra merasa tubuhnya bergetar. Ia adalah seorang akademisi hukum yang kini menjadi aktivis anti-korupsi. Ia tak pernah menyentuh uang rakyat sepeser pun.
"Saya tidak pernah melakukan itu! Ini pasti salah!"
Tapi polisi tak menggubrisnya. Tangannya diborgol, dan dalam hitungan detik, ia sudah diseret keluar.
Di luar, wartawan sudah menunggu, seolah penangkapannya telah direncanakan sebagai tontonan publik. Blitz kamera menyilaukan matanya. Rina hanya bisa menangis, melihat suaminya dibawa pergi dalam sekejap.
2. Permainan Kekuasaan
Di kantor kepolisian, Indra duduk di ruang interogasi. Udara dingin dari pendingin ruangan tak mampu menenangkan pikirannya. Ia tahu, ini bukan soal keadilan. Ini adalah permainan politik.
Seorang pria masuk, berpakaian necis dengan jas mahal.
"Jaksa Andika," gumam Indra, mengenali pria itu.
Andika duduk dengan tenang di hadapannya. "Kita bertemu lagi, Pak Indra. Sayang sekali, tapi Anda terlalu berbahaya bagi keseimbangan politik negara ini."
Indra tersenyum sinis. "Jadi ini tentang kritik-kritik saya?"
Andika menghela napas. "Anda terlalu vokal. Anda membongkar banyak skandal. Dan sekarang, waktunya Anda diam."
Indra menatap tajam. "Saya tidak akan pernah mengakui sesuatu yang tidak saya lakukan."
Jaksa itu tertawa kecil. "Tak masalah. Anda tak perlu mengaku. Media sudah dikendalikan, pengadilan sudah diatur. Dalam waktu dekat, Anda akan dijebloskan ke penjara."
Indra mengepalkan tangan. Ia tahu, ini bukan lagi tentang dirinya. Ini adalah pesan bagi semua aktivis dan pejuang keadilan: siapa pun yang melawan, akan disingkirkan.
3. Media dan Opini Publik
Keesokan harinya, berita tentang penangkapan Indra mendominasi siaran televisi dan media online.
"Eks-Aktivis Terlibat Korupsi Dana Bansos"
"Indra Wijaya: Dari Pejuang Hukum Menjadi Penjahat Negara"
Namun, di sisi lain, di media sosial, perlawanan muncul.
Para mahasiswa yang dulu belajar dari Indra bergerak. Tagar #BebaskanIndra viral. Mereka tahu, dosen mereka adalah orang yang bersih dan selalu melawan korupsi.
Seorang jurnalis independen, Sita Ramadhani, mulai menelusuri kejanggalan.
"Dokumen yang menjerat Indra berasal dari kesaksian seseorang yang baru saja dibebaskan dari penjara. Mengapa seorang koruptor tiba-tiba mendapatkan kebebasan setelah menuduh Indra?"
Namun, setiap kali Sita mencoba mengangkat berita ini, kantornya mendapat tekanan. Teleponnya mulai diteror.
"Jangan ikut campur, Sita," kata seorang rekan kerja dengan nada cemas.
Tapi Sita tak mundur. Baginya, kebenaran lebih penting daripada ketakutan.
4. Persidangan Penuh Rekayasa
Persidangan Indra berlangsung cepat, seperti sandiwara yang naskahnya telah ditentukan sebelumnya.
Jaksa Andika menghadirkan saksi-saksi yang jelas dikondisikan.
Indra berdiri tegap di depan majelis hakim. "Saya tidak meminta keringanan hukuman. Saya hanya meminta keadilan. Jika saya harus masuk penjara karena memperjuangkan kebenaran, biarlah itu menjadi pelajaran bagi mereka yang masih percaya bahwa hukum seharusnya tidak menjadi alat politik."
Namun, kata-katanya hanya menggema di ruang sidang. Putusan dijatuhkan: 10 tahun penjara.
Di luar, Rina menangis. Para mahasiswa meneriakkan, "Bebaskan Indra!"
Di balik senyum tipisnya, Jaksa Andika puas. Ini bukan soal hukum, ini soal kekuasaan.
5. Di Balik Jeruji
Di dalam penjara, Indra merenung. Namun, ia tak kehilangan semangat.
Di sela waktu, ia mulai menulis catatan harian, mendokumentasikan semua kejanggalan dalam kasusnya.
Sementara itu, di luar, Rina dan Sita tak tinggal diam.
"Kita harus membuktikan bahwa ini rekayasa," ujar Sita kepada Rina.
Mereka mulai mengumpulkan bukti baru, mencari rekaman dan saksi yang bisa membongkar konspirasi ini.
Sita tahu, perjalanannya tak akan mudah. Tapi ia percaya, keadilan bisa diperjuangkan.
6. Rahasia yang Terungkap
Suatu malam, seorang pria misterius menemui Sita.
"Saya punya bukti bahwa kasus Indra adalah rekayasa," katanya, menyerahkan sebuah flash drive.
Sita membukanya: rekaman percakapan antara Jaksa Andika dan seseorang dari lingkaran kekuasaan, membahas rencana menjebak Indra.
"Akhirnya, kita punya senjata," ujar Sita.
Namun, sebelum ia bisa mempublikasikannya, kantornya digerebek. Komputernya disita. Ia nyaris tertangkap, tapi berhasil melarikan diri.
Kini, ia menjadi buronan.
7. Melawan dari Kegelapan
Dibantu mahasiswa dan aktivis lain, Sita menyebarkan bukti itu melalui internet.
Media internasional mulai meliput. Tekanan datang dari berbagai pihak.
Di dalam penjara, Indra mendengar kabar ini. Ia tersenyum.
"Kebenaran tak bisa dibungkam selamanya," gumamnya.
Jaksa Andika dan orang-orang di lingkarannya mulai panik.
"Kita harus hentikan ini sebelum terlalu besar!" teriak seorang pejabat tinggi.
Tapi semuanya sudah terlambat.
8. Kejatuhan Sang Penguasa
Di bawah tekanan publik dan tekanan internasional, kasus Indra dibuka kembali.
Hakim baru ditunjuk. Bukti rekayasa dipertimbangkan.
Dalam sidang ulang, Indra akhirnya dibebaskan.
Di luar penjara, ia disambut oleh Rina, Sita, dan para mahasiswa yang tak pernah berhenti memperjuangkannya.
Jaksa Andika? Ia kini berada di kursi terdakwa.
9. Epilog: Keadilan yang Ditunda
Indra kembali ke dunia aktivisme, tetapi kini dengan lebih banyak pengalaman tentang bagaimana hukum bisa dipermainkan.
Sita terus berjuang sebagai jurnalis independen.
Dan di negeri ini, perjuangan melawan politisasi hukum terus berlanjut.
Karena keadilan bisa ditunda, tapi tak akan pernah mati.
Komentar
Posting Komentar