DEMONSTRAN 5
Nadya duduk di depan layar laptopnya, membaca berita-berita terbaru tentang gerakan mahasiswa yang semakin mendapat tekanan dari berbagai pihak. Diskusi di media sosial memanas, dan beberapa teman aktivisnya mulai mendapatkan intimidasi dari akun-akun anonim. Tagar #ShameOnYou yang semula menggema di Twitter kini mulai dibanjiri oleh kontra-narasi dari buzzer yang berusaha menggiring opini publik bahwa gerakan mahasiswa ini hanyalah alat politik pihak tertentu.
Sementara itu, di kampusnya, Sidra sebagai dosen sekaligus mantan aktivis terus memberikan wawasan kritis kepada para mahasiswa. Dalam sebuah diskusi di ruang seminar, ia mengingatkan bahwa sejarah telah menunjukkan bagaimana gerakan mahasiswa sering kali menghadapi represi dan distorsi informasi. "Dulu, di era 1998, pemerintah menggunakan media cetak dan televisi untuk menggiring opini. Sekarang, era digital membawa tantangan baru, yaitu perang informasi di dunia maya," kata Sidra.
Nadya mulai menyadari bahwa perjuangan ini lebih dari sekadar turun ke jalan. Mereka harus memiliki strategi komunikasi yang kuat untuk melawan propaganda yang disebarkan. Bersama teman-temannya, ia mulai merancang strategi digital: membuat konten edukatif di media sosial, menyebarkan data-data faktual, serta membangun jaringan dengan jurnalis independen yang masih memiliki integritas dalam meliput gerakan mahasiswa.
Namun, tantangan semakin berat. Beberapa media mainstream mulai menurunkan berita yang semakin menyudutkan mahasiswa, menyebut mereka sebagai perusuh dan pengganggu stabilitas negara. Nadya merasa frustrasi, tapi Arif mengingatkan dalam panggilan telepon, "Perjuangan tidak selalu menang dalam waktu singkat. Tapi jika kamu yakin dengan kebenaran, teruslah suarakan, jangan menyerah."
Puncaknya, saat sebuah aksi demonstrasi besar direncanakan di Jakarta, mahasiswa dari berbagai kota, termasuk Malang, bersiap untuk berangkat. Kali ini, bukan hanya aksi turun ke jalan, tetapi juga gerakan informasi yang masif dilakukan untuk melawan propaganda digital. Nadya dan timnya bekerja siang malam memastikan bahwa opini publik tidak sepenuhnya dikuasai oleh buzzer dan media yang tidak berimbang.
Gerakan mahasiswa menghadapi ujian berat. Akankah mereka berhasil mempertahankan kebenaran dan memperjuangkan keadilan? Ataukah tekanan dari berbagai pihak akan membuat perjuangan mereka sia-sia? Bab berikutnya akan menjadi penentu dari semua usaha yang telah mereka bangun.
------
Demonstrasi besar-besaran pecah di berbagai kota. Mahasiswa dari berbagai universitas turun ke jalan, menyuarakan tuntutan mereka dengan lebih lantang dari sebelumnya. Jakarta menjadi pusat gelombang protes, tetapi Malang, Yogyakarta, Surabaya, dan Bandung tak kalah riuh. Ribuan mahasiswa memenuhi jalanan, membawa poster, spanduk, dan orasi-orasi tajam yang menggema di udara.
Di tengah lautan massa, Nadya berdiri tegap, suaranya bergema di mikrofon. "Ini bukan hanya tentang kita, ini tentang seluruh rakyat yang selama ini suaranya dibungkam!" teriaknya. Sorak sorai membahana, semangat mengalir deras. Sidra, yang kini lebih berperan sebagai mentor dan pengamat, berdiri di barisan belakang, memperhatikan bagaimana generasi baru ini mengambil alih perjuangan.
Namun, pemerintah tak tinggal diam. Pasukan keamanan dikerahkan dalam jumlah besar. Gas air mata mulai ditembakkan ke udara, memaksa mahasiswa berlarian. Bentrokan kecil terjadi di beberapa titik, tetapi mahasiswa bertahan dengan strategi yang telah mereka rancang. Informasi terus mengalir melalui grup Telegram dan Twitter. Tagar #IndonesiaGelap kembali menggema, mengundang simpati dari masyarakat luas.
Di layar televisi, media arus utama menampilkan narasi yang berseberangan. Mereka menggambarkan demonstran sebagai kelompok anarkis, membuat kerusuhan, dan mengganggu ketertiban. Nadya dan rekan-rekannya semakin sadar bahwa pertarungan ini bukan hanya di jalanan, tetapi juga di ranah informasi.
Arif, dari desa kecil di lereng Gunung Slamet, menyaksikan semuanya melalui siaran langsung di media sosial. Hatinya berdebar kencang, mengenang bagaimana ia dulu berada di posisi yang sama. Ia menghubungi Nadya, suaranya bergetar. "Kalian sudah sejauh ini. Jangan mundur, tapi tetap jaga keselamatan. Ini bukan hanya soal keberanian, tapi juga strategi panjang."
Malam itu, sebuah momen krusial terjadi. Di depan gedung DPR, seorang mahasiswa di barisan depan membaca tuntutan gerakan dengan suara bergetar namun penuh keyakinan. "Kami tidak akan diam sampai keadilan ditegakkan!" Tepuk tangan membahana, cahaya-cahaya dari ponsel menerangi kegelapan malam, menciptakan pemandangan yang menggetarkan hati.
Berikut 13 Tututannya:
1. Ciptakan pendidikan gratis ilmiah dan demokratis serta batalkan pemangkasan anggaran pendidikan.
2. Cabut proyek strategis nasional bermasalah, wujudkan reforma agraria sejati. Menurut mereka Proyek Strategis Nasional (PSN) kerap menjadi alat perampasan tanah rakyat. Kami menuntut pencabutan PSN yang tidak berpihak pada rakyat dan mendorong pelaksanaan reforma agraria sejati.
3. Tolak revisi Undang-Undang Minerba, revisi Undang-Undang Minerba hanya menjadi alat pembungkaman bagi rezim untuk kampus-kampus dan lingkungan akademik ketika bersuara secara kritis.
4. Hapuskan multifungsi ABRI. Sebab keterlibatan militer dalam sektor sipil berpotensi menciptakan represi dan menghambat kehidupan yang demokratis.
5. Sahkan rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat. Masyarakat adat membutuhkan perlindungan hukum yang jelas atas tanah dan kebudayaan mereka.
6. Cabut Instruksi Presiden nomor 1 tahun 2025 yang mana instruksi presiden ini dinilai sebagai ancaman terhadap bagian-bagian yang justru menjadi kepentingan rakyat seperti pendidikan dan kesehatan.
7. Evaluasi penuh program makan bergizi gratis. Kata mereka, program makan gratis harus dievaluasi agar tepat sasaran, terlaksana dengan baik, dan tidak menjadi alat politik semata.
8. Realisasikan anggaran tunjangan kinerja dosen. Kesejahteraan akademisi harus diperhatikan demi peningkatan kualitas pendidikan tinggi dan melindungi hak-hak buruh kampus.
9. Desak Prabowo Subianto untuk mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang perampasan aset. Sebab korupsi adalah hal yang mendesak dan hal ini harus segera diatasi melalui Perppu untuk memberantas kejahatan ekonomi dan korupsi.
10. Tolak revisi Undang-Undang TNI, Polri, dan Kejaksaan. Mereka menilai revisi ini berpotensi menguatkan imunitas para aparat juga militer dan melemahkan penguasaan terhadap aparat.
11. Efisiensi dan rombak Kabinet Merah Putih. Borosnya para pejabat yang tidak bertanggung jawab harus diatasi dengan rombak para pejabat yang bermasalah.
12. Tolak revisi Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat tentang tata tertib yang mana revisi saat sangat bermasalah dan bisa menimbulkan kesewenang-wenangan dari lembaga DPR.
13. Reformasi Kepolisian Republik Indonesia. Kepolisian harus direformasi secara menyeluruh untuk menghilangkan budaya represif dan meningkatkan profesionalisme. Aksi ini merupakan panggilan kepada seluruh elemen masyarakat untuk terus mengawal jalanan pemerintahan demi terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat di Indonesia.
Untuk mempersingkat tuntutan beberapa Mahasiswa yang sedang berorasi terkadang hanya menyuarakan 5 Tuntutan sebagai beikut:
• Mencabut Inpres Nomor 1 Tahun 2025 karena menetapkan pemangkasan anggaran yang tidak berpihak pada rakyat;
• Mencabut pasal dalam RUU Minerba yang memungkinkan perguruan tinggi mengelola tambang guna menjaga independensi akademik;
• Melakukan pencairan tunjangan kinerja dosen dan tenaga kependidikan secara penuh tanpa hambatan birokrasi dan pemotongan yang merugikan;
• Mengevaluasi total program Makan Bergizi Gratis (MBG) dan mengeluarkannya dari anggaran pendidikan;
• Berhenti membuat kebijakan publik tanpa basis riset ilmiah dan tidak berorientasi pada kesejahteraan masyarakat.
yang penting untuk diingat semua tunyutan itu berakar dari tuntutan masyarakat yang sebelumnya menjadi gerakan grafiti, terlukis di tembok-temnok jalanan bertuliskan "Adili Mulyono"
Mereka geram saat rakyat meneriakkan Adili Mulyono, Penguasa malah mengagung-agungkan mulyono dengan.meneriakkan "Hidup Mulyono".
satu hal yang tidak kalah penting yaitu ketika penguasa berpidato menghardik para pengkritik dengan kata makin "ndasmu".
Nadya melihat ke sekelilingnya. Ini bukan hanya perlawanan, ini adalah awal perubahan. Ia menggenggam erat spanduk di tangannya, menatap Sidra yang mengangguk penuh kebanggaan. Sejarah sedang ditulis kembali, dan ia adalah bagian dari babak baru yang akan dikenang oleh generasi berikutnya.
Komentar
Posting Komentar