JEJAK SANG GURU 27
BAB 31: Surat dari Anak Ustaz Mahfud
Malam itu, Ustaz Mahfud baru saja selesai menunaikan salat Isya di surau. Setelah berbincang sebentar dengan beberapa jamaah, ia pulang ke rumah melewati jalan setapak yang sunyi. Udara pegunungan terasa dingin, namun hatinya hangat karena melihat madrasah semakin berkembang.
Setibanya di rumah, istrinya, Bu Siti, menyambutnya dengan senyum hangat.
"Pak, ada surat dari anak kita," kata Bu Siti sambil menyerahkan amplop coklat yang sudah agak kusut karena perjalanan jauh.
Ustaz Mahfud menerima surat itu dengan hati-hati. Sudah lama ia tidak mendapat kabar dari anaknya yang sedang kuliah di kota. Tanpa listrik dan telepon di desa mereka, satu-satunya cara berkomunikasi hanyalah melalui surat yang datangnya bisa berhari-hari, bahkan berminggu-minggu.
Dengan penerangan lampu minyak, ia membuka surat itu dan mulai membaca pelan-pelan:
> Ayah dan Ibu yang kusayangi,
Semoga Ayah dan Ibu dalam keadaan sehat. Maaf aku jarang mengirim surat. Selain sibuk kuliah, aku juga bekerja sampingan untuk biaya hidup di sini. Aku ingin meringankan beban kalian, meskipun aku tahu Ayah tidak pernah menganggapku sebagai beban.
Aku sering rindu rumah, rindu suara ayam berkokok pagi-pagi, rindu suara adzan dari surau kecil kita, dan tentu saja rindu masakan Ibu. Tapi yang paling kurindukan adalah duduk di teras rumah, mendengarkan cerita Ayah tentang madrasah.
Aku dengar dari teman-teman, madrasah semakin baik, Ayah masih seperti dulu—selalu turun ke sawah setelah mengajar. Kadang aku berpikir, betapa beruntungnya murid-murid Ayah. Mereka mendapat ilmu, tetapi juga mendapat teladan tentang bagaimana hidup dengan sederhana dan penuh makna.
Ayah, mungkin suatu saat nanti aku ingin menuliskan kisah tentang Ayah, tentang madrasah kecil kita, tentang desa yang penuh dengan kehangatan dan ketulusan. Bagiku, Ayah bukan hanya seorang guru, tetapi juga panutan dalam kehidupan.
Aku akan mencoba pulang saat liburan nanti. Semoga kita bisa duduk di teras seperti dulu, berbincang sambil menikmati teh hangat.
Salam rindu,
Anakmu.
Ustaz Mahfud terdiam sejenak setelah membaca surat itu. Ada rasa haru di hatinya. Ia tahu, anaknya sedang berjuang di kota, mencoba mandiri, tetapi tetap memikirkan keluarga dan desa.
Bu Siti yang duduk di sampingnya bertanya pelan, "Apa katanya, Pak?"
Ustaz Mahfud tersenyum, matanya berbinar. "Katanya, dia ingin menuliskan kisah kita."
Bu Siti tersenyum bangga. "Berarti dia masih mengingat rumah, meskipun jauh."
Ustaz Mahfud mengangguk pelan. Ia menatap ke luar rumah, melihat bintang-bintang bertaburan di langit desa. Di dalam hatinya, ia berdoa agar anaknya selalu diberi kemudahan dalam menuntut ilmu dan mencapai cita-citanya.
Di saat yang sama, sang anak mungkin sedang duduk di kamarnya yang sederhana, menulis surat lainnya atau sekadar mengenang masa kecilnya di desa. Dari kejauhan, ia sudah mulai merangkai cerita—cerita tentang seorang guru madrasah yang sederhana, tetapi memiliki semangat luar biasa dalam mendidik.
---
Komentar
Posting Komentar