JEJAK SANG GURU 2
Pagi itu, madrasah seperti biasa dipenuhi suara anak-anak yang membaca doa sebelum pelajaran dimulai. Ustad Mahfud berdiri di depan kelas, memperhatikan murid-muridnya satu per satu. Matanya tertuju pada tempat duduk yang kosong di pojok belakang.
"Siapa yang tidak masuk hari ini?" tanyanya dengan suara tenang, tetapi cukup tegas.
Beberapa murid saling pandang, ragu-ragu untuk menjawab. Akhirnya, Hasan mengangkat tangan.
"Umar, Ustad," jawabnya.
Ustad Mahfud mengangguk, lalu bertanya lagi, "Ada yang tahu kenapa dia tidak masuk?"
Tak ada yang langsung menjawab. Beberapa anak tampak resah. Mereka tahu, di madrasah ini, tidak masuk sekolah tanpa alasan yang jelas bisa berakibat panjang.
Setelah beberapa saat, Jamal memberanikan diri berbicara, "Kemarin Umar main di sungai sampai sore, Ustad. Mungkin dia kecapekan."
Ustad Mahfud terdiam sejenak. Semua murid menunduk, menunggu reaksi gurunya.
"Siapa yang rumahnya dekat dengan Umar?" tanyanya.
Seorang anak bernama Hamid mengangkat tangan.
"Sepulang sekolah, ajak beberapa teman untuk melihat ke rumahnya. Pastikan dia tidak sakit," kata Ustad Mahfud.
"Baik, Ustad," jawab Hamid.
Pelajaran pun dimulai seperti biasa. Namun, di benak Hasan, ia tahu bahwa absennya Umar bukan hanya soal bolos. Di desa ini, orang tua sangat disiplin soal pendidikan. Jika seorang anak tidak masuk sekolah tanpa alasan yang jelas, bisa jadi ada sesuatu yang terjadi di rumahnya.
Saat istirahat, Hasan, Jamal, dan Hamid berkumpul di bawah pohon nangka.
"Kita mampir ke rumah Umar nanti?" tanya Jamal.
"Iya. Aku penasaran kenapa dia nggak berangkat," jawab Hasan.
Setelah jam pelajaran terakhir selesai, Hasan dan teman-temannya memilih jalur belakang, melewati kebun dan pekarangan rumah warga menuju rumah Umar. Matahari siang terasa hangat, tetapi angin dari pegunungan membuat perjalanan mereka tetap nyaman.
Rumah Umar berada di dekat sawah, agak jauh dari rumah-rumah lain. Sesampainya di sana, mereka melihat Umar duduk di tangga rumah, menunduk, seperti sedang melamun.
"Umar!" panggil Hamid.
Umar menoleh dengan ekspresi kaget, lalu buru-buru berdiri. "Kenapa kalian ke sini?" tanyanya, sedikit gugup.
"Kata Ustad Mahfud, kalau ada teman yang nggak masuk, kita harus pastikan dia baik-baik saja," jawab Hasan.
Umar terdiam, lalu menghela napas panjang. "Aku nggak bisa masuk sekolah hari ini..."
Jamal mengernyit. "Kenapa? Kamu sakit?"
Umar menggeleng. "Bukan. Semalam ayah marah karena aku pulang terlalu sore. Aku dihukum, disuruh membantu di ladang sejak Subuh."
Hasan dan teman-temannya saling pandang. Hukuman seperti itu memang bukan hal asing di desa mereka. Orang tua mendidik anak-anak mereka dengan tegas. Jika seorang anak lebih memilih bermain daripada belajar, hukumannya bisa berupa pekerjaan fisik agar mereka mengerti bahwa menuntut ilmu lebih ringan dibanding bekerja keras di sawah atau ladang.
"Ayahmu masih marah?" tanya Hamid.
Umar menggeleng. "Tadi sebelum berangkat ke ladang, ayah bilang aku bisa masuk sekolah besok. Tapi aku malu kalau ditanya Ustad Mahfud."
Hasan menepuk bahu Umar. "Ustad Mahfud nggak akan marah kalau kamu jujur. Yang penting, besok kamu datang lagi ke madrasah."
Umar mengangguk pelan. "Iya. Besok aku akan masuk."
Setelah berbincang sebentar, Hasan dan teman-temannya berpamitan. Mereka kembali ke rumah masing-masing dengan jalur yang sama, melewati kebun dan pekarangan belakang rumah warga.
Dalam perjalanan, Hasan berpikir bahwa di desa ini, pendidikan dan kedisiplinan adalah satu kesatuan. Jika ada yang melanggar aturan, bukan hanya sekolah yang akan bertindak, tetapi keluarga dan masyarakat juga akan ikut mengingatkan.
Ia semakin paham mengapa ayahnya selalu mengatakan bahwa ilmu itu lebih berharga daripada emas.
Komentar
Posting Komentar