Postingan

JEJAK SANG GURU 32

MALAM DI BAWAH LANGIT DESA Setelah sekian lama menunggu, Hasan akhirnya bisa merasakan kembali kehangatan keluarga yang utuh. Kakaknya sudah pulang, duduk di antara mereka, berbagi cerita tentang kehidupan di kota. Meski rumah mereka masih sama—berdinding kayu, berlantai tegel dingin, dan diterangi lampu petromak—suasana malam ini terasa berbeda. Ada rasa tenang yang sudah lama tidak Hasan rasakan. Menikmati Makan Malam Bersama Di meja makan yang sederhana, mereka menikmati hidangan yang disiapkan Bu Siti: sayur lodeh, ikan asin, dan tempe goreng. Hasan makan dengan lahap, sesekali melirik kakaknya yang kini terlihat lebih dewasa. "Kak, kau tidak pernah pulang, apa di kota terlalu sibuk?" tanya Hasan sambil mengunyah tempe. Kakaknya tersenyum, menyendok nasi ke piringnya. "Bukan begitu, San. Aku memang sibuk dengan kuliah dan kerja. Tapi aku selalu ingin pulang. Hanya saja, waktunya belum tepat." Ustaz Mahfud mengangguk pelan. "Yang penting sekarang kau sudah d...

JEJAK SANG GURU 31

 MENANTI KEHADIRAN KAKAK Hasan merasa hari-hari berjalan lebih lambat sejak menerima kabar bahwa kakaknya akan pulang. Setiap pagi, ia selalu bertanya pada ibunya, "Bu, kapan Kakak pulang?" dan setiap kali pula ibunya menjawab dengan senyuman sabar, "Sebentar lagi, San. Sabar ya." Namun, bagi Hasan, waktu seakan bergerak lebih lambat dari biasanya. Pagi yang Sibuk di Desa Pagi itu, seperti biasa, Hasan bangun lebih awal. Dari bilik kayu kamar tidurnya, ia mendengar suara ayam berkokok dan dentingan panci dari dapur. Bu Siti pasti sudah menyiapkan sarapan. Aroma nasi hangat bercampur dengan wangi kopi menyebar ke seluruh rumah. Hasan segera beranjak, mencuci muka di sumur belakang rumah, lalu duduk di lantai kayu dapur sambil mengipasi piringnya agar nasi tidak terlalu panas. "San, nanti pulang sekolah jangan main dulu, bantu Ibu di rumah. Kita harus bersih-bersih sebelum Kakak datang," kata Bu Siti sambil menuangkan teh hangat ke dalam cangkir. Hasan menga...

JEJAK SANG GURU 30

 Kabar yang Ditunggu Sejak surat dari kakaknya datang, Hasan merasa hari-harinya lebih bersemangat. Ia sering bertanya-tanya kapan tepatnya kakaknya akan pulang, bagaimana keadaannya setelah lama merantau, dan apakah ia masih sama seperti dulu. Di madrasah, Hasan mulai lebih rajin. Ia tidak lagi terlambat datang, bahkan kini lebih banyak bertanya saat pelajaran. Beberapa temannya yang dulu sering mengolok-oloknya karena dimarahi Ustaz Mahfud mulai heran melihat perubahan sikapnya. Suatu sore, sepulang dari madrasah, Hasan memutuskan untuk melewati jalan belakang seperti biasa. Hujan baru saja reda, tanah masih sedikit becek, tetapi aroma rumput basah memberikan kesegaran tersendiri. Di tengah perjalanan, ia melihat Ustaz Mahfud sedang duduk di gubuk kecil di kebunnya, memperbaiki sabit yang sudah mulai tumpul. "Assalamu'alaikum, Ayah," sapa Hasan sambil melangkah mendekat. "Wa'alaikumussalam, San. Sudah pulang?" Ustaz Mahfud menoleh sambil tersenyum. Hasan d...

JEJAK SANG GURU 29

 Kabar dari Kota Pagi di desa selalu diawali dengan suara ayam berkokok dan langkah-langkah ringan para ibu yang menuju sumur. Kabut tipis masih menyelimuti perbukitan ketika Ustaz Mahfud bersiap berangkat ke madrasah. Hasan sudah lebih dulu berlari keluar rumah, membawa tasnya yang lusuh, siap untuk pelajaran hari ini. Di tengah persiapan pagi, seorang pemuda datang ke rumah Ustaz Mahfud. Ia mengenakan jaket lusuh dan membawa sebuah amplop coklat. "Assalamu'alaikum, Ustaz," sapanya sopan. "Wa'alaikumussalam. Oh, kau Rudi, kan? Ada apa pagi-pagi ke sini?" Rudi, yang merupakan salah satu pemuda desa yang bekerja sebagai kernet angkutan desa, menyerahkan amplop itu. "Ini surat dari anak Ustaz. Tadi pagi sampai di kota, dan dititipkan padaku waktu aku mengantar barang." Mata Ustaz Mahfud berbinar. Sudah lama ia menantikan kabar dari anaknya. "Terima kasih, Rudi." Rudi tersenyum lalu pamit. Ustaz Mahfud membuka surat itu dengan hati-hati dan ...

JEJAK SANG GURU 28

Hujan di Jalan Setapak Langit mulai mendung saat Hasan melangkah keluar dari madrasah. Ujian hari ini cukup menguras pikirannya, tapi ada kelegaan dalam hatinya. Ia berjalan perlahan di jalan setapak yang biasa dilaluinya setiap pulang sekolah, melewati kebun dan pekarangan rumah warga. Tiba-tiba, angin bertiup lebih kencang, dan tak lama kemudian rintik hujan mulai turun. Hasan berhenti sejenak, menatap langit yang kelabu. Hujan semakin deras, membasahi tanah hingga aroma khas tanah basah tercium kuat. Di kejauhan, suara anak-anak tertawa terdengar dari sawah. Hasan melihat beberapa temannya yang juga pulang sekolah malah berlarian ke tengah hujan, melepas baju mereka dan hanya menyisakan celana pendek. Mereka melompat-lompat di genangan air, saling mencipratkan air hujan ke wajah satu sama lain. Hasan tersenyum. Di usianya yang masih sepuluh tahun, hujan adalah bagian dari kebahagiaan sederhana. Tanpa berpikir panjang, ia ikut berlari ke arah mereka. “Hei, Hasan! Ayo ke sini!” t...

POLITISASI HUKUM

 (Cerpen) 1. Penangkapan Dini Hari Pukul tiga dini hari, ketukan keras menggema di apartemen Indra Wijaya di Jakarta Selatan. "Pak Indra Wijaya, buka pintunya! Ini kepolisian!" Indra terbangun, jantungnya berdegup cepat. Di sebelahnya, Rina, istrinya, ikut tersentak. "Ada apa, Mas?" bisik Rina dengan wajah penuh kecemasan. Indra bangkit, menarik napas panjang, lalu berjalan ke pintu. Begitu ia membukanya, beberapa pria berpakaian preman menyerbu masuk. "Anda ditangkap atas dugaan korupsi dana bantuan sosial," ujar salah satu polisi seraya menyodorkan surat perintah penangkapan. Korupsi? Indra merasa tubuhnya bergetar. Ia adalah seorang akademisi hukum yang kini menjadi aktivis anti-korupsi. Ia tak pernah menyentuh uang rakyat sepeser pun. "Saya tidak pernah melakukan itu! Ini pasti salah!" Tapi polisi tak menggubrisnya. Tangannya diborgol, dan dalam hitungan detik, ia sudah diseret keluar. Di luar, wartawan sudah menunggu, seolah penangkapannya t...

DEMONSTRAN 3

 Setelah kembali dari desa, Nadya mulai mempertimbangkan saran ayahnya dengan lebih serius. Arif, yang telah mengabdikan dirinya untuk pendidikan di desa, memahami pentingnya memiliki akademisi dan pendidik yang berjuang di dalam sistem perkotaan. Bagi Arif, perubahan tidak hanya bisa dilakukan dari pinggiran, tetapi juga dari dalam institusi. "Kamu bisa lebih bermanfaat kalau tetap di kota, Nadya. Kamu bisa jadi asisten dosen, melanjutkan S2, dan suatu hari nanti, jadi dosen tetap. Dengan begitu, kamu bisa mendidik lebih banyak orang dan membawa perubahan dalam sistem," kata Arif saat mereka berbincang di ruang tamu rumah kontrakan Nadya di Malang. Nadya memahami maksud ayahnya. Pengabdian memang bukan hanya soal turun ke desa atau berdemo di jalanan. Ada banyak cara untuk memperjuangkan nilai-nilai yang diyakininya, termasuk melalui jalur akademik. Di kampusnya, Universitas Negeri Malang, ia mulai lebih aktif dalam kegiatan akademik, membantu dosennya dalam penelitian, dan ...