JEJAK SANG GURU 31

 MENANTI KEHADIRAN KAKAK

Hasan merasa hari-hari berjalan lebih lambat sejak menerima kabar bahwa kakaknya akan pulang. Setiap pagi, ia selalu bertanya pada ibunya, "Bu, kapan Kakak pulang?" dan setiap kali pula ibunya menjawab dengan senyuman sabar, "Sebentar lagi, San. Sabar ya."


Namun, bagi Hasan, waktu seakan bergerak lebih lambat dari biasanya.


Pagi yang Sibuk di Desa


Pagi itu, seperti biasa, Hasan bangun lebih awal. Dari bilik kayu kamar tidurnya, ia mendengar suara ayam berkokok dan dentingan panci dari dapur. Bu Siti pasti sudah menyiapkan sarapan. Aroma nasi hangat bercampur dengan wangi kopi menyebar ke seluruh rumah.


Hasan segera beranjak, mencuci muka di sumur belakang rumah, lalu duduk di lantai kayu dapur sambil mengipasi piringnya agar nasi tidak terlalu panas.


"San, nanti pulang sekolah jangan main dulu, bantu Ibu di rumah. Kita harus bersih-bersih sebelum Kakak datang," kata Bu Siti sambil menuangkan teh hangat ke dalam cangkir.


Hasan mengangguk cepat. "Baik, Bu!"


Meskipun ia ingin sekali bermain dengan teman-temannya, ada rasa tanggung jawab yang muncul. Kakaknya jarang pulang, dan Hasan ingin rumah mereka terlihat rapi ketika ia sampai.


Sementara itu, Ustaz Mahfud sudah bersiap ke madrasah. Ia memakai baju koko putih yang sudah mulai kusam dan sarung batik favoritnya. "Hasan, jangan lupa, hari ini ada tugas hafalan," katanya sebelum berangkat.


Hasan menyeringai. "Iya, Ayah!"


Setelah sarapan, Hasan segera mengenakan baju seragam madrasahnya—baju putih dan celana panjang hitam. Tasnya yang sedikit lusuh ia sampirkan ke bahu, lalu berlari keluar rumah.


Perjalanan ke Madrasah


Perjalanan ke madrasah selalu menjadi bagian yang menyenangkan bagi Hasan. Ia melewati jalan setapak yang masih berupa tanah dan rerumputan liar. Embun pagi masih melekat di daun pisang dan rumput di tepi jalan.


Di tengah jalan, ia bertemu dengan Karim dan Ali yang juga dalam perjalanan ke madrasah.


"San, kau tadi cepat sekali sarapannya!" kata Karim.


Hasan tertawa. "Aku ingin cepat pulang nanti, Kakakku mau datang!"


Ali yang lebih kecil ikut bersorak. "Wah, Kakakmu pasti bawa oleh-oleh dari kota!"


Hasan mengangkat bahunya. Ia tidak terlalu memikirkan oleh-oleh. Yang terpenting baginya adalah bisa bertemu dan mengobrol dengan kakaknya lagi.


Saat mereka tiba di madrasah, halaman sekolah sudah ramai. Anak-anak lain berlarian, ada yang duduk di serambi, dan ada juga yang sibuk menghafal pelajaran.


Madrasah mereka sudah berdinding tembok, tetapi lantainya masih berupa tegel sederhana yang sering terasa dingin di pagi hari. Di dinding kelas, papan tulis kayu sudah mulai kusam, tetapi tulisan kapur masih jelas terlihat dari kejauhan.


Hasan dan teman-temannya segera masuk ke dalam kelas dan bersiap mengikuti pelajaran.


Belajar di Madrasah


Pelajaran pagi itu cukup serius. Ustaz Mahfud mengajar tentang kisah para nabi dan pentingnya kejujuran dalam kehidupan sehari-hari.


"Anak-anak, kalian tahu, kejujuran itu ibarat cermin. Jika retak sekali saja, akan sulit memperbaikinya," kata Ustaz Mahfud dengan suara tenang.


Hasan memperhatikan dengan saksama. Ia selalu mengagumi cara ayahnya mengajar. Meskipun banyak murid di madrasah, ayahnya tetap mengajar dengan penuh kesabaran, tidak pernah lelah menjawab pertanyaan murid-muridnya.


Di sela-sela pelajaran, teman-temannya sempat menggoda Hasan.


"San, kalau Kakakmu pulang, apakah dia akan ikut mengajar di madrasah juga?" tanya Karim.


Hasan menggeleng. "Aku tidak tahu. Tapi aku ingin mendengar ceritanya tentang kota."


Beberapa teman lain tampak penasaran. "Kau tanya apakah di kota orang-orang juga rajin mengaji seperti di sini!" kata salah satu dari mereka.


Hasan tersenyum, membayangkan bagaimana perbincangan itu akan terjadi nanti malam.


Pulang Sekolah dan Persiapan Menyambut Kakak


Setelah pelajaran selesai, Hasan buru-buru pulang. Ia melewati jalur belakang yang lebih cepat, melintasi kebun warga dan pekarangan belakang rumah-rumah desa. Sepanjang perjalanan, ia melihat para ibu sedang menjemur padi di halaman, beberapa bapak duduk santai di serambi rumah mereka setelah bekerja di sawah.


Ketika sampai di rumah, ia langsung membantu ibunya membersihkan rumah. Lantai tegel yang dingin ia sapu hingga bersih, lalu membantu menata tikar di ruang tamu.


"Kakakmu pasti senang melihat rumah kita bersih seperti ini," kata Bu Siti sambil tersenyum.


Matahari semakin condong ke barat. Awan di langit mulai berwarna jingga keemasan. Hasan duduk di beranda rumah, menunggu dengan sabar.


Angkutan Desa Datang


Akhirnya, suara khas mesin angkutan desa terdengar dari kejauhan. Hasan segera berdiri, menajamkan pandangan ke arah jalan tanah di depan rumah. Debu beterbangan ketika kendaraan itu berhenti.


Seorang pemuda turun, mengenakan kemeja sederhana dan membawa tas besar di bahunya. Wajahnya sedikit lebih dewasa dibanding terakhir kali Hasan melihatnya.


"Kakak!" Hasan berseru sambil berlari ke arahnya.


Kakaknya tersenyum lebar dan langsung memeluk Hasan erat. "Hasan! Wah, kau makin besar sekarang!"


Bu Siti keluar dari rumah dengan mata berbinar. "Nak, akhirnya kau pulang juga!" Ia memeluk anak sulungnya dengan penuh kehangatan.


Ustaz Mahfud yang baru pulang dari surau pun tersenyum melihat keluarganya berkumpul kembali.


Malam yang Penuh Cerita


Malam itu, setelah makan bersama, mereka duduk di ruang tamu dengan lampu petromak yang menerangi ruangan. Hasan duduk di dekat kakaknya, tidak ingin kehilangan momen berharga ini.


"Kakak, bagaimana di kota?" tanya Hasan penuh antusias.


Kakaknya tersenyum. "Banyak hal yang berbeda, San. Orang-orang lebih sibuk, semuanya serba cepat. Tapi ada satu hal yang aku pelajari—kejujuran dan kebaikan tetap sama pentingnya di mana pun kita berada."


Ustaz Mahfud mengangguk setuju. "Betul sekali. Nilai yang kita pegang di sini tidak akan berubah meskipun kita pergi jauh."

Hasan mendengarkan dengan seksama. Malam itu terasa begitu hangat, penuh dengan cerita dan kebersamaan. Ia merasa semakin memahami betapa pentingnya keluarga dan nilai-nilai yang diajarkan oleh ayahnya selama ini.

Malam semakin larut. Lampu petromak mulai redup, dan satu per satu anggota keluarga masuk ke kamar masing-masing. Hasan masih duduk di tempatnya, merenungkan hari yang panjang dan penuh kebahagiaan ini.

Ia tersenyum dalam hati. Akhirnya, Kakak pulang.

---


Komentar

Postingan populer dari blog ini

JEJAK SANG GURU 24

MENGULANG DEMONSTRASI

JEJAK SANG GURU 16