JEJAK SANG GURU 32
MALAM DI BAWAH LANGIT DESA
Setelah sekian lama menunggu, Hasan akhirnya bisa merasakan kembali kehangatan keluarga yang utuh. Kakaknya sudah pulang, duduk di antara mereka, berbagi cerita tentang kehidupan di kota. Meski rumah mereka masih sama—berdinding kayu, berlantai tegel dingin, dan diterangi lampu petromak—suasana malam ini terasa berbeda. Ada rasa tenang yang sudah lama tidak Hasan rasakan.
Menikmati Makan Malam Bersama
Di meja makan yang sederhana, mereka menikmati hidangan yang disiapkan Bu Siti: sayur lodeh, ikan asin, dan tempe goreng. Hasan makan dengan lahap, sesekali melirik kakaknya yang kini terlihat lebih dewasa.
"Kak, kau tidak pernah pulang, apa di kota terlalu sibuk?" tanya Hasan sambil mengunyah tempe.
Kakaknya tersenyum, menyendok nasi ke piringnya. "Bukan begitu, San. Aku memang sibuk dengan kuliah dan kerja. Tapi aku selalu ingin pulang. Hanya saja, waktunya belum tepat."
Ustaz Mahfud mengangguk pelan. "Yang penting sekarang kau sudah di sini. Bagaimana kuliahmu?"
"Alhamdulillah, Ayah. Tidak mudah, tapi aku menikmatinya. Aku juga bekerja paruh waktu di toko buku. Kadang membantu teman-teman mengerjakan tugas."
Bu Siti tersenyum bangga. "Yang penting kau tetap jaga kesehatan."
Setelah makan malam, mereka duduk di beranda. Angin malam berembus sejuk, membawa aroma tanah yang basah setelah hujan sore tadi. Di langit, bintang bertaburan, berkilauan di antara awan yang mulai menipis.
Cerita di Bawah Cahaya Petromak
Hasan duduk di samping kakaknya, sementara Ustaz Mahfud dan Bu Siti menikmati teh hangat.
"Kak, apa bedanya hidup di kota dan di desa?" tanya Hasan penuh penasaran.
Kakaknya tertawa kecil. "Banyak sekali, San. Di kota, orang-orang selalu terburu-buru. Semua harus cepat. Tapi di sini, waktu terasa lebih santai, lebih damai."
Hasan mengangguk. "Kalau begitu, lebih enak di desa?"
"Setiap tempat punya kelebihannya sendiri," jawab kakaknya bijak. "Di kota, banyak ilmu yang bisa dipelajari, banyak peluang. Tapi di desa, ada kedamaian yang tidak bisa ditemukan di mana pun."
Ustaz Mahfud tersenyum mendengar jawaban itu. "Yang penting, di mana pun kita berada, kita tetap ingat asal-usul kita."
Bu Siti kemudian bertanya, "Jadi kapan kau kembali ke kota?"
Kakaknya terdiam sejenak. "Aku masih belum tahu, Bu. Kalau diizinkan, aku ingin tinggal lebih lama."
Mendengar itu, Hasan merasa senang. "Berarti kita bisa main lebih lama, Kak!"
Semua tertawa melihat semangat Hasan.
Hujan Malam dan Kenangan Lama
Tiba-tiba, angin malam bertiup lebih kencang. Daun-daun pisang di belakang rumah bergoyang, menandakan hujan akan turun lagi. Benar saja, tak lama kemudian, rintik-rintik air mulai jatuh di atap rumah mereka yang terbuat dari seng. Suara hujan terdengar begitu menenangkan.
Hasan memandang kakaknya. "Kak, kau masih ingat waktu kita kecil dulu? Kalau hujan, kita selalu berlarian di halaman rumah."
Kakaknya tertawa. "Tentu saja! Waktu itu, kita bahkan pernah bermain lumpur sampai dimarahi Ibu."
Bu Siti menggeleng, tersenyum mengingat kejadian itu. "Ya ampun, kalian memang nakal waktu kecil. Pulang ke rumah penuh lumpur, aku sampai pusing mencuci baju kalian!"
Hasan tertawa. "Tapi itu menyenangkan, Bu!"
Suasana malam itu penuh nostalgia. Mereka mengingat kembali masa kecil yang penuh kebahagiaan sederhana—bermain kasti di halaman, berlarian saat hujan, dan duduk di bawah pohon sambil mendengar dongeng dari Ayah.
Obrolan Tentang Masa Depan
Di tengah suara hujan yang semakin deras, Ustaz Mahfud menatap anak sulungnya. "Nak, kau sudah hampir selesai kuliah. Apa rencanamu setelah ini?"
Kakaknya menarik napas dalam. "Aku ingin tetap belajar, Ayah. Aku ingin mencari pengalaman lebih banyak, mungkin bekerja di bidang pendidikan atau sosial."
Ustaz Mahfud mengangguk bangga. "Bagus. Ilmu yang bermanfaat akan menjadi amal jariyah."
Hasan yang sejak tadi mendengarkan, tiba-tiba berkata, "Kak, kalau kau jadi guru, kau bisa mengajar di madrasah kita!"
Kakaknya tersenyum dan mengusap kepala Hasan. "Siapa tahu, San. Aku ingin berbagi ilmu, entah di mana pun tempatnya."
Bu Siti menatap anaknya dengan penuh haru. "Apa pun yang kau lakukan, Nak, pastikan itu membawa kebaikan."
Malam semakin larut. Hujan masih turun dengan lembut, suara gemericiknya menjadi latar yang menenangkan.
Hasan menguap kecil. Matanya mulai terasa berat, tapi hatinya dipenuhi rasa bahagia. Akhirnya, keluarganya kembali berkumpul, dan ia tidak ingin momen ini berakhir terlalu cepat.
Penutup Malam yang Hangat
Sebelum tidur, Hasan masih sempat berbicara dengan kakaknya di kamar. "Kak, kau akan tetap di sini berapa lama?"
Kakaknya menatap langit-langit kamar kayu mereka yang sederhana. "Aku belum tahu, San. Tapi selama aku di sini, kita akan habiskan waktu bersama, ya?"
Hasan mengangguk puas. "Baik, Kak!"
Kedua saudara itu akhirnya tertidur dengan senyum di wajah mereka, diiringi suara hujan yang masih membasahi bumi desa mereka.
Komentar
Posting Komentar