JEJAK SANG GURU 3

Keesokan harinya, seperti yang dijanjikan, Umar kembali masuk madrasah. Ia datang lebih awal dari biasanya, berharap tidak ada yang menyinggung tentang ketidakhadirannya kemarin. Namun, saat tiba di halaman sekolah, ia justru mendengar bisik-bisik di antara teman-temannya.

"Itu Umar, kemarin dihukum ayahnya gara-gara main terus," bisik seorang anak.

"Makanya, kalau main jangan lupa waktu," sahut yang lain.

Meskipun mereka tidak berbicara langsung kepadanya, Umar bisa merasakan bahwa banyak teman yang mulai menjauh darinya. Hasan yang melihat itu hanya menghela napas. Ia tahu, di desa ini, jika seseorang berbuat salah, orang-orang akan membicarakannya sampai beberapa hari sebelum akhirnya lupa.

Setelah pelajaran selesai, anak-anak berhamburan ke lapangan untuk bermain. Permainan yang paling sering dimainkan adalah bola kasti. Dua tim saling melempar bola dan berlari menghindari pukulan. Siapa yang terkena bola akan keluar dari permainan.

Hasan dan Jamal berada di satu tim, sementara Umar di tim lawan. Awalnya permainan berjalan seru, dengan teriakan dan tawa di sana-sini. Namun, saat permainan semakin panas, Umar yang kesal karena terus menjadi sasaran akhirnya terpancing emosi.

"Kalian sengaja, ya, mau bikin aku kalah terus?" teriaknya saat bola kembali mengenai badannya.

"Itu aturan mainnya, Mar!" jawab Jamal, kesal karena Umar mulai bersikap tidak sportif.

"Enggak! Kalian semua kompak mau bikin aku kalah!" balas Umar.

Pertengkaran pun tak terhindarkan. Umar yang sudah menahan malu sejak pagi akhirnya meluapkan kekesalannya, sementara Jamal dan beberapa anak lain mulai berdebat.

Hasan yang sejak tadi diam akhirnya maju dan berkata, "Sudahlah, ini cuma permainan."

Namun, Umar yang masih terbawa emosi justru mendekati Hasan. "Kamu juga! Sok baik, padahal diam saja waktu mereka ngejek aku!"

Hasan terkejut. Ia tidak menyangka Umar akan melibatkan dirinya.

"Aku nggak ada niat jelek ke kamu, Umar," ujar Hasan tenang.

"Tapi kamu juga nggak bela aku!" seru Umar sebelum akhirnya berbalik dan pergi meninggalkan lapangan.

Setelah Umar pergi, suasana menjadi canggung. Beberapa anak masih kesal, sementara yang lain hanya diam, tidak tahu harus berbuat apa.

"Kita berlebihan, ya?" tanya Jamal pelan.

Hasan menghela napas. "Umar pasti merasa malu karena kemarin dihukum ayahnya. Sekarang dia merasa semua orang menjauhinya."

Jamal menggaruk kepalanya, sedikit menyesal. "Besok kita baikan lagi, ya?"

Hasan mengangguk. "Tentu. Tapi kita biarkan dia tenang dulu."

Hari itu, Hasan pulang dengan pikiran yang sedikit berat. Ia tahu, persahabatan di usia mereka masih sering diwarnai pertengkaran. Namun, yang lebih penting adalah bagaimana mereka menyelesaikan masalah itu.

Di rumah, ia merenung. Kadang, diam bukan berarti tidak peduli. Namun, di mata orang lain, diam juga bisa dianggap sebagai pengkhianatan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

JEJAK SANG GURU 24

MENGULANG DEMONSTRASI

JEJAK SANG GURU 16