JEJAK SANG GURU 15

 Malam itu, langit bersih bertabur bintang. Cahaya bulan menerangi pekarangan rumah Hasan, menggantikan lampu listrik yang memang belum ada di desanya. Hanya lampu minyak di dalam rumah yang memberi sedikit penerangan, menimbulkan bayangan-bayangan di dinding kayu.

Hasan duduk di depan rumah bersama ayahnya. Angin gunung bertiup sejuk, membawa aroma tanah yang lembab setelah hujan sore tadi.

"Ayah, kalau di kota, malam-malam seperti ini pasti ramai dengan lampu-lampu ya?" tanya Hasan, menatap ke arah langit yang luas.

Ayahnya tersenyum. "Iya, Nak. Tapi di kota, orang-orang jarang melihat bintang seperti ini. Mereka terlalu sibuk dengan urusan mereka sendiri."

Hasan mengangguk. Ia memang pernah mendengar cerita dari beberapa orang yang pergi ke kota, katanya di sana banyak kendaraan, banyak gedung tinggi, dan malam hari pun tetap terang seperti siang.

Di dalam rumah, ibu Hasan sibuk menyalakan kompor untuk merebus air. Sementara itu, dari kejauhan, suara kentongan terdengar, tanda pergantian jaga ronda malam. Hasan menyukai suasana seperti ini—sederhana, damai, dan penuh kebersamaan.

"Hasan," ayahnya memanggil. "Apa cita-citamu nanti?"

Hasan terdiam sejenak. Ia belum pernah benar-benar memikirkan hal itu.

"Aku ingin jadi seperti Ayah," jawabnya akhirnya. "Mengajar, tapi juga tetap bisa ke sawah. Aku suka berada di madrasah, tapi aku juga suka bau tanah dan sawah."

Ayahnya tersenyum bangga. "Bagus, Hasan. Menjadi guru itu pekerjaan mulia, dan mencintai tanah tempat kita tinggal itu juga penting. Apa pun yang kamu pilih nanti, yang terpenting adalah kamu menjalaninya dengan ikhlas dan jujur."

Hasan mengangguk mantap. Malam semakin larut, tapi ia masih ingin menikmati kebersamaan ini lebih lama. Tanpa listrik, tanpa kebisingan kota—hanya mereka, suara jangkrik, dan langit penuh bintang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

JEJAK SANG GURU 24

MENGULANG DEMONSTRASI

JEJAK SANG GURU 16