JEJAK SANG GURU 14
Hari yang dinantikan akhirnya tiba. Hasan bangun lebih pagi dari biasanya, membersihkan rumah, membantu ibunya menyiapkan sarapan, dan sesekali menengok ke jalanan desa yang masih basah sisa hujan semalam.
"Jangan mondar-mandir terus, Hasan," tegur ibunya sambil tersenyum. "Ayahmu pasti datang, sabar sedikit."
Hasan mengangguk, tapi hatinya sulit tenang. Ia sudah menghitung hari sejak menerima surat dari ayahnya. Dan sekarang, waktunya hampir tiba.
Menjelang siang, suara deru kendaraan terdengar dari kejauhan. Hasan segera berlari ke luar rumah dan melihat sebuah angkutan desa bak terbuka mendekati ujung jalan. Di sana, di antara para penumpang yang duduk berdesakan dengan barang bawaan mereka, Hasan melihat sosok yang sudah lama ia rindukan.
"Ayaaah!" Hasan melompat-lompat kegirangan.
Ayahnya, seorang pria dengan tubuh tegap dan wajah yang selalu tampak ramah, turun dari kendaraan dengan membawa sebuah tas besar. Begitu ia melihat Hasan, senyum lebarnya mengembang.
"Hasan, anak Ayah!"
Tanpa menunggu lebih lama, Hasan berlari dan langsung memeluk ayahnya erat-erat. Bau khas keringat dan debu perjalanan bercampur dengan aroma pakaian ayahnya yang selalu ia kenali.
Ibunya menyambut dengan senyum bahagia. "Alhamdulillah, akhirnya sampai juga."
Mereka bertiga masuk ke dalam rumah, dan Hasan tak berhenti menceritakan berbagai hal yang ia alami selama ayahnya pergi—tentang ujian, tentang insiden mencuri tebu, bahkan tentang pertengkaran kecilnya dengan teman-temannya. Ayahnya mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali tertawa kecil atau mengangguk dalam.
"Kamu sudah belajar banyak hal selama Ayah pergi," katanya sambil menepuk bahu Hasan. "Itulah kehidupan, Nak. Ada kesalahan, ada pelajaran. Yang penting kamu selalu ingat untuk berbuat baik dan jujur."
Hasan mengangguk mantap.
Sore harinya, seperti yang dijanjikan, ayahnya mengajak Hasan ke sawah. Mereka berjalan melewati jalan setapak yang becek, melewati pematang yang penuh dengan tanaman hijau. Di kejauhan, gunung berdiri kokoh, seolah mengawasi desa dengan tenang.
"Ayolah, Hasan. Kita mulai bekerja!" kata ayahnya sambil menggulung lengan bajunya.
Hasan tersenyum. Ia merasa bahagia. Bukan hanya karena bisa menghabiskan waktu bersama ayahnya, tapi juga karena ia tahu, inilah kehidupan di desanya—hidup yang sederhana, penuh kebersamaan, dan penuh pelajaran berharga.
Komentar
Posting Komentar