JEJAK SANG GURU 19
Beberapa hari setelah kunjungan itu, kabar baik datang—Pak Ustaz sudah sembuh dan kembali beraktivitas seperti biasa. Pagi-pagi, Hasan melihat beliau berjalan menuju madrasah dengan langkah tenang, mengenakan sarung dan peci hitamnya. Murid-murid yang melihatnya langsung memberi salam dengan penuh semangat.
"Assalamu’alaikum, Ustaz!"
"Wa’alaikumussalam, anak-anak," jawab Pak Ustaz dengan senyum khasnya.
Hasan merasa lega. Madrasah terasa lebih lengkap jika Pak Ustaz ada. Pelajaran hari itu berjalan seperti biasa, dengan Pak Ustaz yang kembali mengajarkan tajwid dan kisah para nabi.
Setelah selesai mengajar, seperti kebiasaannya, Pak Ustaz tidak langsung pulang ke rumah. Ia berjalan menuju sawah, membawa cangkul di pundaknya. Hasan dan beberapa temannya yang melihat itu langsung mengikuti dari belakang.
"Ayo kita ke sawah juga!" bisik Umar.
Mereka berjalan beriringan, melewati jalan setapak yang masih sedikit becek setelah hujan kemarin malam. Hasan memperhatikan bagaimana Pak Ustaz mencangkul tanah dengan gerakan terampil, seolah sudah terbiasa sejak lama.
"Ayo, kalau mau bantu, ambil sabit itu," kata Pak Ustaz tanpa menoleh.
Hasan dan teman-temannya saling pandang, lalu segera mengambil sabit dan mulai membantu Pak Ustaz membersihkan rumput di pematang sawah. Meski tangan mereka belum sekuat petani sungguhan, mereka tetap berusaha.
Saat istirahat, Pak Ustaz duduk di bawah pohon kelapa, mengipasi wajahnya dengan sarung yang dilipat. "Kalian tahu, anak-anak, kenapa saya suka ke sawah?"
"Kenapa, Ustaz?" tanya Asep, penasaran.
"Karena sawah mengajarkan kesabaran," jawab Pak Ustaz. "Menanam padi itu butuh waktu. Kita harus merawatnya, memberi pupuk, menyiangi gulma, lalu menunggu hujan turun. Baru beberapa bulan kemudian, kita bisa panen."
Anak-anak mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Begitu juga dengan ilmu," lanjut Pak Ustaz. "Kalian belajar sedikit demi sedikit, tidak bisa langsung pintar dalam semalam. Tapi kalau sabar dan terus belajar, suatu hari nanti kalian akan memetik hasilnya."
Hasan mengangguk, memahami maksud Pak Ustaz. Meski masih kecil, ia mulai mengerti bahwa belajar memang seperti bertani—membutuhkan usaha dan kesabaran.
Hari itu, mereka tidak hanya bermain dan bekerja di sawah, tetapi juga mendapatkan pelajaran hidup dari Pak Ustaz.
Setelah membantu Pak Ustaz di sawah, Hasan dan teman-temannya masih merasa belum puas bermain. Matahari sudah tidak terlalu terik, dan angin semilir membuat suasana semakin nyaman.
"Bagaimana kalau kita jalan-jalan ke sungai sebentar?" usul Jamal.
"Jangan lama-lama, nanti keburu Maghrib," kata Umar sambil menengok ke langit.
Mereka berjalan menyusuri pematang sawah yang sedikit becek. Di kejauhan, burung-burung bangau beterbangan di atas persawahan yang mulai menguning. Di tengah perjalanan, Asep yang berjalan di depan tiba-tiba berhenti dan tertawa kecil.
"Eh, lihat itu!" katanya sambil menunjuk ke depan.
Di tengah pematang, seekor kerbau sedang berendam di kubangan lumpur. Kerbau itu tampak santai, sesekali mengibaskan ekornya untuk mengusir lalat.
Jamal yang selalu iseng langsung mendapat ide. "Bagaimana kalau kita naik ke punggungnya?"
Hasan mengerutkan kening. "Jangan, nanti ngamuk."
"Ah, tenang saja. Kerbau itu jinak," kata Asep yang mulai mendekati kerbau dengan hati-hati.
Anak-anak yang lain tertawa-tawa melihat tingkah Asep. Tapi sebelum Asep berhasil naik, tiba-tiba kerbau itu bergerak, membuatnya kehilangan keseimbangan dan tercebur ke dalam kubangan lumpur!
"Byuur!"
Anak-anak langsung terbahak-bahak melihat Asep yang kini penuh lumpur dari kepala sampai kaki. Sementara Asep berusaha bangkit, wajahnya cemberut.
"Kalian ketawa saja! Ayo, bantuin!" katanya kesal.
Hasan dan yang lainnya masih tertawa, tapi akhirnya membantu Asep naik. Namun, kesialan mereka belum berakhir. Saat hendak kabur sebelum ada orang yang melihat, tiba-tiba terdengar suara berat dari belakang mereka.
"Kalian lagi ngapain di situ?"
Semua anak membeku. Itu suara Pak Ustaz!
Mereka berbalik dengan wajah tegang. Pak Ustaz berdiri di ujung pematang dengan tangan di pinggang, wajahnya serius.
"Astaghfirullah, siapa yang nyemplung ke lumpur?" tanyanya sambil menatap Asep yang masih belepotan lumpur.
Hasan menelan ludah. "Tadi... Asep mau naik ke punggung kerbau, Ustaz..."
Pak Ustaz menghela napas panjang, lalu melangkah mendekati mereka. "Kalian ini... bukannya langsung pulang malah main yang aneh-aneh. Sudah tahu kubangan itu kotor."
Anak-anak hanya bisa menunduk, tidak berani membantah.
"Ayo, cepat ke sungai, bersihkan diri kalian. Habis itu langsung pulang," perintah Pak Ustaz.
Mereka tidak membantah dan langsung berlari ke sungai terdekat. Meskipun dimarahi, mereka tetap merasa senang karena kejadian tadi begitu lucu.
Dan di sepanjang jalan pulang, mereka masih tertawa mengingat wajah Asep saat tercebur ke lumpur.
---
Langit mulai menggelap saat Hasan dan teman-temannya berjalan pulang dari sawah. Angin bertiup lebih kencang, membawa aroma tanah yang khas.
"Aduh, kayaknya bakal hujan nih," gumam Umar sambil melihat ke langit.
Benar saja, tak lama kemudian rintik-rintik hujan mulai turun, semakin lama semakin deras.
"Ayo lari ke rumah!" seru Jamal.
Namun, alih-alih berlari mencari tempat berteduh, Hasan justru melepaskan bajunya, menyisakan celana pendeknya saja, lalu berdiri di tengah hujan dengan tangan terentang.
"Woohooo! Hujan-hujanan!" teriaknya gembira.
Melihat itu, teman-temannya ikut tertawa dan melakukan hal yang sama. Mereka berlarian di pematang sawah, membiarkan air hujan mengguyur tubuh mereka. Lumpur-lumpur kecil terpercik ke kaki mereka saat mereka berlari dan melompat di genangan air.
Di kejauhan, beberapa orang dewasa yang melihat hanya menggeleng-gelengkan kepala, tetapi mereka tersenyum maklum.
"Sama kayak kita waktu kecil dulu," kata seorang petani sambil tertawa kecil.
Hasan dan teman-temannya terus bermain. Mereka mengangkat tangan ke langit, merasakan tetesan air membasahi wajah mereka. Hujan menjadi momen kebebasan, tanpa ada beban sekolah atau kewajiban lain.
Setelah puas bermain, mereka berlari menuju rumah masing-masing dalam keadaan basah kuyup dan tertawa bahagia. Hasan sampai di rumah dengan tubuh penuh lumpur dan rambut yang basah menempel di dahinya.
"Ibu, aku pulang!" serunya.
Ibunya yang sedang memasak di dapur langsung keluar dan menggelengkan kepala melihat putranya.
"Astaghfirullah, Hasan! Basah kuyup, nak. Cepat mandi sebelum masuk angin!"
Hasan hanya terkekeh sebelum berlari menuju sumur untuk membilas tubuhnya. Hujan hari itu membawa kebahagiaan kecil yang tak terlupakan.
Komentar
Posting Komentar