JEJAK SANG GURU 6
Keesokan harinya, Hasan dan teman-temannya kembali ke madrasah dengan perasaan campur aduk. Mereka masih teringat betapa menyenangkan bermain hujan kemarin, tetapi juga merasa sedikit cemas. Beberapa dari mereka tidak sempat mandi dengan benar setelah pulang, dan sekarang tubuh mereka masih terasa agak dingin.
Di dalam kelas, Ustad Mahfud sudah berdiri di depan papan tulis. Seperti biasa, beliau mengenakan sarung dan peci hitam, dengan sikap tenang namun berwibawa. Setelah semua anak duduk, beliau mulai berbicara.
"Anak-anak, kemarin hujan deras turun. Ada yang kehujanan?" tanyanya.
Beberapa anak saling berpandangan, lalu tersenyum-senyum.
"Yang main hujan-hujanan, angkat tangan," lanjutnya.
Seketika, hampir separuh kelas mengangkat tangan, termasuk Hasan, Umar, dan Jamal. Ustad Mahfud menghela napas, lalu tersenyum kecil.
"Hujan memang menyenangkan, tapi kalian tahu, kalau tidak hati-hati, bisa sakit," katanya sambil melirik ke arah Hasan yang tampak sedikit pilek.
"Tapi, Ustad, kemarin seru sekali! Kami berlari-lari, main lumpur, pokoknya seperti di sawah!" seru Jamal dengan bersemangat.
Ustad Mahfud mengangguk. "Dulu, saat saya seusia kalian, saya juga suka bermain hujan. Tapi dulu, orang tua kami selalu mengajarkan satu hal: kalau habis hujan-hujanan, harus mandi dan ganti baju yang kering."
Beberapa anak mulai mengangguk, menyadari bahwa mereka memang kurang memperhatikan hal itu.
"Tapi hari ini bukan soal hujan. Ada yang lebih penting," lanjut Ustad Mahfud, suaranya mulai lebih serius. "Ada beberapa anak yang tidak masuk sekolah beberapa hari ini. Ada yang tahu kenapa?"
Kelas mendadak hening. Beberapa anak menundukkan kepala. Umar mencuri pandang ke arah Hasan, yang tampaknya sudah bisa menebak ke mana arah pembicaraan ini.
"Saya dengar ada yang sengaja tidak masuk sekolah karena malas. Ada juga yang membolos hanya karena ingin bermain di kebun."
Semua anak terdiam. Ustad Mahfud melipat tangannya di dada, matanya menyapu seluruh kelas.
"Dulu, di zaman saya, seorang siswa yang tidak masuk sekolah tanpa alasan yang jelas akan langsung dicari oleh gurunya. Kadang-kadang, guru sendiri yang datang ke rumah dan menegur orang tua mereka. Sekarang, saya ingin tahu, siapa yang kemarin tidak masuk tanpa alasan yang jelas?"
Beberapa anak perlahan mengangkat tangan, wajah mereka terlihat cemas.
Ustad Mahfud tidak langsung marah. Ia hanya menghela napas dan berkata, "Kalian tahu, pendidikan itu penting. Jika kalian mulai malas di usia muda, nanti saat dewasa, kalian akan menyesal. Apa kalian ingin menjadi orang yang tidak punya ilmu?"
Serempak, anak-anak menggeleng.
"Bagus," kata Ustad Mahfud. "Mulai sekarang, saya ingin kalian lebih disiplin. Kalian boleh bermain, boleh bersenang-senang, tapi jangan sampai lupa kewajiban kalian."
Hasan merasa kagum dengan cara mengajar Ustad Mahfud. Beliau tidak langsung menghukum atau membentak, tetapi kata-katanya tegas dan membuat mereka sadar.
Hari itu, mereka belajar banyak hal, bukan hanya dari pelajaran di papan tulis, tetapi juga dari cara seorang guru membimbing mereka dengan tegas namun penuh kasih sayang.
Komentar
Posting Komentar