JEJAK SANG GURU 5

 Langit sore tampak gelap, awan hitam bergulung-gulung di atas perbukitan. Udara yang semula hangat berubah menjadi sejuk, angin berhembus pelan membawa aroma tanah yang khas. Hasan, Umar, Jamal, dan beberapa teman lainnya berjalan santai pulang dari madrasah, menyusuri jalan tanah yang mulai lembab oleh gerimis.

"Kita harus cepat sebelum hujan deras," kata Hasan.

Namun, baru saja ia selesai bicara, tetesan air yang tadinya rintik-rintik berubah menjadi hujan lebat. Dalam hitungan detik, tubuh mereka basah kuyup.

"Aaaah! Hujan deras!" teriak Umar sambil tertawa.

Alih-alih berteduh, mereka justru berhenti di tengah jalan. Jamal yang paling bersemangat langsung melepas bajunya, hanya menyisakan celana pendek, lalu berlari ke tengah jalan berlumpur.

"Ayo hujan-hujanan!" serunya.

Seolah tak ingin ketinggalan, Hasan dan Umar juga ikut melepas baju mereka, membiarkan tubuh mereka diterpa hujan. Anak-anak lain pun melakukan hal yang sama. Mereka berlari-lari kecil, melompat ke genangan air, membiarkan air hujan membasahi tubuh mereka sepenuhnya.

Jamal melompat ke kubangan kecil di pinggir jalan. "Byuuuur!" Air berlumpur menciprati kaki Hasan dan Umar.

"Jamal curang!" Umar tertawa sambil membalas dengan menendang air ke arahnya.

Mereka pun saling menyiram dan mencipratkan air lumpur ke satu sama lain. Hasan bahkan mencoba meluncur di tanah yang sudah licin, tetapi malah jatuh terduduk, membuat semua orang tertawa.

Di tengah keceriaan itu, suara tawa seorang pria terdengar. Mereka menoleh dan melihat Pak Surip, seorang petani tua yang mengenakan sarung dan caping. Ia berdiri di pinggir jalan, tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepala.

"Hahaha! Dasar bocah-bocah! Hujan begini malah main lumpur!" katanya dengan nada geli.

Anak-anak hanya tertawa.

Pak Surip menyandarkan cangkulnya ke bahunya. "Dulu, waktu saya seusia kalian, main hujan-hujanan itu hiburan terbaik. Tapi ingat, kalau nanti sampai rumah, langsung mandi, ya! Kalau sampai masuk angin, orang tua kalian bisa marah."

Hujan mulai mereda, suara gemericik air masih terdengar dari pepohonan dan genting rumah-rumah warga.

"Sudah cukup! Sekarang waktunya pulang!" seru Hasan.

Mereka pun berjalan pulang dengan tubuh penuh lumpur, tapi wajah mereka berseri-seri. Meski basah dan kotor, tidak ada yang menyesal bermain hujan. Hari itu, hujan bukan sekadar air yang turun dari langit, melainkan bagian dari kebahagiaan kecil yang hanya bisa dirasakan oleh anak-anak desa di zamannya.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

JEJAK SANG GURU 24

MENGULANG DEMONSTRASI

JEJAK SANG GURU 16