JEJAK SANG GURU 4
Keesokan harinya, suasana madrasah masih terasa canggung. Umar datang seperti biasa, tetapi ia lebih banyak diam. Beberapa teman mencoba mengajaknya bicara, namun ia hanya menjawab singkat. Hasan ingin berbicara dengannya, tetapi merasa ini bukan waktu yang tepat.
Saat pelajaran dimulai, Ustad Mahfud masuk ke kelas dengan membawa tongkat kecil yang selalu menjadi ciri khasnya. Ia bukan tipe guru yang suka menghukum murid dengan tongkat itu, tetapi hanya dengan menggenggamnya saja, semua anak langsung memperhatikan dan bersikap lebih tertib.
Hari ini, pelajaran yang diajarkan adalah tentang adab kepada guru dan teman.
"Anak-anak, tahukah kalian mengapa adab itu lebih utama daripada ilmu?" tanya Ustad Mahfud sambil menyapu pandangan ke seluruh kelas.
Beberapa anak menunduk, berpikir. Hasan mengangkat tangan. "Karena tanpa adab, ilmu tidak akan membawa manfaat, Ustad."
Ustad Mahfud tersenyum. "Benar. Ilmu itu seperti pohon, dan adab adalah akarnya. Kalau akar pohon tidak kuat, pohon itu bisa tumbang kapan saja."
Ia lalu melanjutkan penjelasannya, menekankan bagaimana pentingnya menghormati guru, menghargai teman, dan menjaga kebersamaan.
Di tengah pelajaran, ia tiba-tiba menatap ke arah Umar.
"Umar, kau terlihat tidak seperti biasanya. Ada yang ingin kau sampaikan?" tanyanya dengan lembut.
Umar terkejut. Ia ragu-ragu, lalu akhirnya menggeleng.
Ustad Mahfud tidak mendesaknya, tetapi justru bercerita.
"Dulu, waktu saya seusia kalian, saya juga pernah bertengkar dengan teman. Hanya karena permainan, kami sampai tidak saling bicara selama berhari-hari. Tapi, satu hal yang saya pelajari, kita harus lebih besar dari ego kita sendiri. Meminta maaf tidak akan membuat kita lebih rendah, dan memaafkan tidak akan membuat kita kehilangan harga diri."
Kelas menjadi hening. Semua murid mendengarkan dengan serius.
Setelah beberapa saat, Umar akhirnya mengangkat tangan. "Ustad... saya kemarin bertengkar dengan teman-teman saat bermain bola kasti. Saya juga marah pada Hasan karena merasa dia tidak membela saya."
Semua mata tertuju ke Umar. Hasan menatapnya tanpa berkata apa-apa.
Ustad Mahfud tersenyum. "Lalu, bagaimana perasaanmu sekarang?"
Umar menunduk. "Saya menyesal, Ustad. Saya tahu teman-teman tidak bermaksud jahat, tapi saya terlalu emosional."
Ustad Mahfud mengangguk. "Bagus. Kesalahan bukan untuk disimpan, tetapi untuk diperbaiki. Hasan, bagaimana menurutmu?"
Hasan tersenyum kecil. "Aku juga minta maaf kalau kemarin diam saja. Aku hanya tidak ingin memperkeruh suasana."
Ustad Mahfud menepuk pundak Hasan. "Sikapmu sudah benar. Kadang, diam memang lebih baik daripada memperpanjang pertengkaran. Tapi ingat, kalau ada teman yang butuh dukungan, jangan ragu untuk menunjukkan bahwa kau peduli."
Setelah pelajaran selesai, Umar menghampiri Hasan dan Jamal.
"Kita sudah baikan, kan?" tanyanya sambil mengulurkan tangan.
Jamal langsung menjabatnya dengan semangat. "Tentu! Besok kita main bola kasti lagi!"
Hasan mengangguk. "Tapi kali ini jangan marah kalau kena pukul, ya!"
Mereka tertawa bersama.
Hari itu, Hasan semakin memahami satu hal: ketegasan bukanlah sekadar hukuman atau aturan yang ketat, tetapi juga cara mendidik dengan kasih sayang. Dan Ustad Mahfud, dengan caranya yang bijaksana, telah mengajarkan mereka sebuah pelajaran berharga yang akan mereka ingat seumur hidup.
Komentar
Posting Komentar