JEJAK SANG GURU 10
Siang itu, langit di atas desa mulai mendung. Awan kelabu menggantung rendah, memberi pertanda hujan akan segera turun. Anak-anak yang baru saja keluar dari madrasah berjalan beriringan menyusuri jalan setapak menuju rumah masing-masing.
Hasan, Umar, Jamal, dan beberapa teman lainnya memilih mengambil jalur belakang, melewati kebun dan pekarangan rumah warga. Mereka menikmati perjalanan sambil berbincang riang, sesekali menendang kerikil kecil di jalanan tanah yang mulai lembap oleh angin basah.
Tak lama kemudian, titik-titik air mulai turun perlahan, membasahi tanah yang kering. Semakin lama, hujan semakin deras, membuat anak-anak berlarian ke tepian jalan untuk berteduh di bawah pohon atau emperan rumah warga.
Namun, di antara mereka, Hasan justru berdiri di tengah hujan dengan tangan terangkat ke atas. Wajahnya penuh kegembiraan saat merasakan tetesan air hujan mengenai kulitnya.
"Ayo hujan-hujanan!" serunya dengan semangat.
Umar dan Jamal saling pandang, lalu tersenyum lebar. Tanpa pikir panjang, mereka langsung melepas baju seragam, hanya menyisakan celana pendek, dan berlarian ke tengah jalan yang mulai becek.
"Hahaha! Segar sekali!" seru Jamal sambil melompat-lompat di genangan air.
Anak-anak lain yang tadinya berteduh mulai tergoda. Satu per satu, mereka ikut bergabung, berlari, melompat, dan menendang air seperti anak bebek yang baru menemukan kolam.
Ada yang berputar-putar dengan tangan terbuka, ada yang mencoba menangkap air hujan dengan mulut, dan ada juga yang sengaja duduk di tanah berlumpur sambil tertawa-tawa. Hasan bahkan mengajak mereka bermain lomba lari di genangan air, membuat cipratan besar ke mana-mana.
Seorang ibu yang kebetulan lewat hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum. "Dasar bocah-bocah, senang sekali main hujan-hujanan."
Di tengah kegembiraan itu, tiba-tiba terdengar suara berat yang familiar.
"Anak-anak! Kalian ini kenapa malah main hujan-hujanan?"
Mereka menoleh, dan di sana berdiri Ustad Mahfud, guru mereka, dengan wajah yang tidak bisa ditebak antara marah atau menahan tawa.
Hasan, Umar, dan Jamal langsung berhenti, tapi air masih menetes dari rambut dan wajah mereka. Anak-anak yang lain juga terdiam, menunggu apa yang akan dikatakan Ustad Mahfud.
Namun, bukannya memarahi, Ustad Mahfud justru tertawa kecil. "Dulu waktu saya seusia kalian, saya juga suka main hujan-hujanan seperti ini."
Anak-anak saling berpandangan dengan heran.
"Tapi..." lanjut Ustad Mahfud dengan nada lebih serius, "jangan sampai kalian sakit. Setelah ini, langsung pulang, mandi air hangat, dan ganti baju yang kering. Kalau sampai besok ada yang tidak masuk sekolah karena demam, saya akan tahu siapa yang harus saya beri hukuman!"
Mereka semua mengangguk cepat, lalu kembali tertawa sebelum akhirnya bubar menuju rumah masing-masing.
Di sepanjang jalan, Hasan tersenyum puas. Hari itu, hujan bukan hanya membasahi tanah desa mereka, tetapi juga membawa kegembiraan yang sulit dilupakan.
Komentar
Posting Komentar