Langit sore menguning ketika Arif duduk di beranda rumahnya, menatap halaman kampus di Kota Malang tempat ia dulu berjuang. Secangkir kopi hitam mengepul di tangannya. Televisi menampilkan berita terbaru: mahasiswa turun ke jalan, menuntut keadilan. "Seperti kita dulu," gumamnya, tersenyum kecil. Tahun 1998, Arif hanyalah seorang mahasiswa semester tiga yang terjebak dalam pusaran reformasi. Hari-hari di kampus bukan hanya tentang kuliah dan tugas, tapi juga diskusi di kontrakan, rapat di sekretariat organisasi, dan aksi di jalan. Buku-buku pemikiran Soe Hok Gie, Abdul Wahab, dan Pramoedya menjadi santapan sehari-hari. "Kita tidak bisa diam saja," kata salah satu temannya saat itu, "Negara ini butuh perubahan." Mereka berdesakan di depan gedung DPR, suara mereka membahana, menuntut keadilan. Gas air mata pernah mereka rasakan, juga kejaran aparat. Namun, rasa takut tenggelam oleh semangat. Mereka tidak hanya berdemonstrasi; mereka berjuang. Dua puluh lima...
Komentar
Posting Komentar